Jumat, 07 Februari 2014

TAN MALAKA, MENUNTUN INDONESIA DARI BALIK TABIR

25 February 2012 - dalam Sejarah Oleh basundoro-fib
Negeri Belanda: Pintu Sejarah Tan Malaka
            Pintu sejarah Tan Malaka terbuka lebar pada Oktober 1913 ketika salah seorang gurunya, G.H. Horensma, di Kweekschool (Sekolah Guru) Fort de Kock (Bukitinggi) membawanya ke Negeri Belanda ketika sang guru mengambil cuti. Di negeri yang sedang menjajah bangsanya, sang guru mencarikan dana untuk Tan Malaka, dan dengan perantaraannya ia memperoleh izin bagi Tan Malaka untuk memasuki sekolah guru lanjutan di Rijks Kweekschool Haarlem. Di Negeri Belanda inilah minat Tan Malaka terhadap politik mulai tumbuh. Namun minatnya yang sangat besar terhadap dunia politik itu pula yang kemudian membawanya ke dalam situasi yang sulit selama menempuh pelajaran di negeri asing tersebut, terutama kesulitan finansial. Pada awal pendidikannya di Belanda oleh sang guru yang mengajaknya, Tan Malaka disalurkan untuk bisa mendapatkan dana yang ada pada waktu itu. Dana untuk mahasiswa dari Indonesia antara lain berasal dari Nederlandsch-Indische Onderwijs-en Studiekas (Kas Pendidikan dan Pengajaran Hindia Belanda), Max Havelaarfonds (Dana Max Havelaar), Julianafonds (Dana Juliana), dan Tjandistichting (Yayasan Candi). Dana pendidikan ini tidak memberikan beasiswa, ia hanya membantu memperolehnya dan mengaturnya. Dana juga mengusahakan agar para mahasiswa ditempatkan di tengah-tengah keluarga yang terpilih untuk memudahkan pengawasan. Para mahasiswa yang berada di bawah pembiayaan yang diusahakan melalui dana memperoleh pengawasan yang amat ketat dengan disiplin militer. Salah seorang pengawas dari sistem ini adalah Fabius. Ia adalah mantan jenderal sehingga gaya pengawasannya sangat militeristik. Tan Malaka yang mulai tertarik dengan dunia politik seringkali bentrok dengan Fabius, terutama jika pembicaraannya menyinggung masalah politik. Kejadian yang terulang beberapa kali akhirnya mengakibatkan putusnya hubungan antara dana pendidikan dengan Tan Malaka. Kondisi keuangan yang amat memprihatinkan telah menyebabkan Tan Malaka sakit-sakitan dan menanggung banyak hutang. Dua kali ia mengalami kegagalan untuk memperoleh hoofdakte karena menderita sakit dan menurunnya motivasi. Namun di tengah kondisi yang serba sulit Tan Malaka akhirnya berhasil memperoleh hoofdakte yang ia dambakan. Utangnya yang menumpuk membuatnya  tidak mungkin  lagi tinggal di Negeri Belanda. Tahun 1919 ia angkat koper dari Negeri Belanda, dan menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur .
Ketika Tan Malaka berada di negeri Belanda gagasan revolusioner sedang tumbuh di seluruh kawasan Eropa. Ide-ide Karl Marx tentang komunisme sedang disemai dalam ujudnya yang praksis. Tidak jelas benar bagaimana ide-ide komunisme mulai menariknya, sampai ia menerjuninya secara praksis. Di negeri  Belanda lah minat politik Tan Malaka tergugah dan terbentuk. Ia menjadi seorang nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus menjadi simpatisan komunisme yang aktif. Ia sangat tertarik dengan kemenangan revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Gagasan-gagasannya terbentuk antara lain di dalam kelompok diskusi yang ditokohi oleh Sneevliet dan gagasan itu ia lahirkan kembali dalam bentuk artikel yang dikirimkannya ke surat kabar. Tan Malaka juga sempat menjadi anggota Indische Inlichtingendienst (Dinas Penerangan Hindia) yang dibentuk oleh Sneevliet. Lembaga ini berperan sebaagai pemberi informasi mengenai situasi di Hindia belanda kepada suratkabar-suratkabar komunis dan para anggota parlemen Belanda.

Menggagas Persatuan Indonesia
Aktifitas Sarekat Islam (SI) yang sedang marak di Jawa bisa jadi telah terdengar di telinga Tan Malaka, sehingga tahun 1921 ia meninggalkan gaji yang lumayan tinggi di perkebunan Senembah, Deli, Sumatera Timur lalu berangkat ke Jawa. Ia mulai mengenal Sarekat Islam melalui seorang sahabatnya, R. Soetopo, guru Sekolah Pertanian di Purworejo. Soetopo membawa Tan Malaka ke kongres Centrale Sarekat Islam (CSI) di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 2-6 Maret 1921. Di tempat inilah Tan Malaka bertemu dengan Semaoen, tokoh pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaoen sangat tertarik dengan Tan Malaka karena konon, baginya Tan Malaka merupakan Bumiputra terpelajar pertama yang mengenal dan akrab dengan Marxisme. Kongres CSI di Yogyakarta berlangsung dalam suasana persaingan antara Sarekat Islam dan PKI. Seperti kita ketahui PKI lahir dari rahim Sarekat Islam dengan julukan ”Sarekat Islam merah”. Hubungan antara SI dan PKI secara resmi terputus pada Kongres Luar Biasa CSI di Surabaya tanggal 6-10 Oktober 1921. Dalam perpecahan inilah Tan Malaka lebih tertarik kepada PKI dibandingkan dengan SI.
Kedatangan Tan Malaka ke Jawa bagi Semaoen merupakan darah segar yang memberi gairah baru dalam konteks persaingan dengan SI dalam rangka menarik lebih banyak kader-kader SI agar bergabung dengan PKI. Semaoen kemudian meminta Tan Malaka untuk datang ke Semarang dan diajak untuk mendirikan sekolah berdasarkan doktrin Marxisme untuk anak-anak anggota SI. Pada tanggal 21 Juni 1921 berdirilah sekolah pertama dengan murid sebanyak 50 anak. Pada Maret 1922 sekolah sejenis telah tersebar sampai ke Bandung dengan 200 murid. Pendirian sekolah-sekolah ini sangat berhasil sehingga melambungkan nama Tan Malaka sehingga pada kongres PKI ke-8  di Semarang tanggal 25 Desember 1921 ia terpilih menjadi ketua PKI menggantikan Semaoen karena Semaoen berangkat ke Moskow.
Periode ini ditandai dengan semakin mengerasnya pertentangan antara SI dengan PKI yang ditandai saling kritik antara keduanya. Tan Malaka sebenarnya tidak pernah rela CSI terpecah menjadi SI dan PKI, ia menghendaki keduanya tetap bersatu karena hanya dengan cara itulah bangsa Indonesia bisa menghadapi tekanan dari penjajah. Seruan untuk bersatu menjadi tema besar kongres PKI ke-8 pada tanggal 25 Desember 1921 di Semarang. Untuk membahas cara mencapai persatuan itu maka diundang pula utusan CSI, Sarekat Hindia, dan SI lokal.Dalam kesempatan itu Tan Malaka berpidato selama empat jam lamanya untuk membela gagasan persatuan. ”Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia,” ucapnya dalam pidato tersebut. Persatuan juga merupakan garis yang sejak semula dianut oleh pendahulunya, Semaoen. Dalam pidato itu Tan Malaka membandingkan sukses Kongres Nasional India dan gagalnya organisasi pergerakan Indonesia menggalang persatuan. Kongres Nasional India mampu melancarkan gerakan nonkooperasi yang tidak bisa ditindas oleh Inggris, sementara pergerakan Indonesia terpecah belah menghadapi Belanda yang jauh lebih lemah daripada Inggris.
Pidato Tan Malaka tersebut sebenarnya didukung oleh semua peserta kongres namun kemudian dimentahkan kembali oleh Abdoel Moeis yang datang setelah pidato selesai. Abdoel Moeis membuka luka lama tentang hubungan SI dan PKI yang membuat pemimpin komunis bergaris keras menggugat sehingga persatuan kembali terancam, jika saja KH. Bagus Hadikusumo, utusan Muhammadiyah tidak turun tangan. Ia angkat bicara membela pidato Tan Malaka. Menurut Hadikusumo mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, dan pergerakan bertujuan melawan penindasan bangsa asing yang kafir. Gerakan perlawanan hanya dapat dijalankan jika rakyat bersatu. Akhirnya CSI sepakat untuk bekerja sama kendati hanya dalam program-program khusus. Kongres memilih Tan Malaka sebagai ketua menggantikan Semaoen. Kongres ditutup dengan mengirim telegram yang menyatakan dukungan kepada Kongres Nasional India. Namun telegram itulah yang kemudian menjadi senjata makan tuan bagi Tan Malaka, sehingga ia tidak bisa mengawal ide persatuan yang lahir dari kongres itu. Tidak lama setelah telegram terkirim, tanggal 13 Februari 1922 Tan Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda di Bandung dan dibuang dari Hindia Belanda, karena dianggap mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam Pengasingan
Maret 1922 ia berangkat kembali ke negeri Belanda, yang segera disambut sebagai martir dari kolonialisme Belanda oleh kawan-kawan seperjuangannya di Belanda. Sosoknya ditempatkan pada posisi yang amat tinggi dengan dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer dari golongan komunis pada pemilu bulan Juli 1922 di Belanda. Namun usaha kawan-kawannya tersebut gagal karena partainya hanya mendapat dua kursi (Tan Malaka ditempatkan dalam urutan ketiga dalam daftar calon).
            Gagal menjadi anggota Tweede Kamer di Belanda, Tan Malaka kemudian melangkah menuju ke Jerman. Di negeri ini ia melamar menjadi anggota legiun asing tetapi ditolak. Di kota Berlin ia bertemu dengan tokoh Partai Komunis Indonesia, Darsono. Bulan November 1922 Tan Malaka menghadiri konferensi Komunis Internasional (Komintern) di Moskow mewakili Partai Komunis Indonesia. Di tempat inilah Tan Malaka semakin menunjukkan kemahiran dan kematangannya dalam berpolitik. Ia diangkat menjadi Wakil Komintern untuk Asia Timur yang berkedudukan di Kanton. Tan Malaka mulai menjalankan tugasnya di Kanton pada Desember 1923. Di kota inilah ia menerbitkan majalah The Dawn (Fajar) sebagai salah satu alat perjuangan partai komunis. Di kota ini pula Tan Malaka pada tahun 1924 menulis buku yang sangat monumental Naar de Republiek Indonesia.  Awal tahun 1926 ia masuk ke Singapura setelah sebelumnya singgah beberapa saat di Filipina untuk menyembuhkan penyakit paru-parunya. Di Filipina sempat menjadi koresponden El Debate. Di Singapura bukunya yang amat monumental Massa Actie ditulis. Naar de Republiek dan Massa Actie menjadi inspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Bung Karno dan Anwari ke mana-mana selalu membawa buku tersebut. Dalam pledoinya di Landraad (pengadilan) Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip beberapa hal dari Massa Actie. Buku tersebut juga mengilhami terciptanya salah satu kalimat yang dibuat oleh W.R. Supratman untuk lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam bagian terakhir buku tersebut Tan Malaka menulis ...“Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya” yang kemudian menjadi “Indonesia tanah tumpah darahku” dalam Idonesia Raya.
Dari Singapura Tan Malaka menyeberang ke Thailand, kemudian ke Filipina lagi. Namun di tempat ini ia tertangkap oleh polisi dan diusir untuk keluar dari Filipina. Dengan menggunakan kapal Suzanna, Tan Malaka berlayar ke Shanghai. Setelah berpindah-pindah tempat di seputar kawasan Asia, tanggal 10 Juni 1942 ia berlayar ke Medan dari Penang, Malaysia. Saat itu Indonesia sudah diduduki oleh Bala Tentara Jepang.
            Selama berada di pengasingan ia menggunakan banyak nama samaran. Hampir setiap pindah tempat dari satu negara ke negara lain Tan Malaka menanggalkan nama samaran lama dan menggantikannya dengan yang baru. Dengan cara ini ia terhindar dari tangkapan polisi rahasia dan tetap bisa beraktifitas serta tetap bisa mengkomunikasikan ide-idenya melalui tulisan-tulisan yang ia buat. Selama di Filipina ia memiliki tiga nama, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera. Ketika berada di Sungapura Tan Malaka memakai nama Hasan Gozali. Pada tahun 1930 ketika berada di Shanghai mengaku bernama Ossario yang berprofesi sebagai wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Bahkan ketika di Hongkong ia sempat memakai nama Ong Song Lee dengan 13 varian. Ketika kembali ke Indonesia nama yang ia gunakan adalah Ilyas Hussein. Nama samaran tersebut terbongkar oleh rekan-rekan seperjuangannya di Jakarta setelah Indonesia merdeka.
            Melalui Medan Tan Malaka kemudian sampai di Jakarta. Ia menyewa sebuah rumah kecil yang nyaris mirip gubuk di sebuah perkampungan di Jakarta. Dengan menggunakan nama samaran Ilyas Hussein tiap hari ia mendatangi perpustakaan museum yang cukup terkemuka pada waktu itu. Ia melahap berbagai informasi seputar marxisme dan sejarah. Ternyata di dalam rumah kecilnya Tan Malaka tiap malam menumpahkan isi otaknya yang telah diisi dengan berbagai informasi di perpustakaan menjadi sebuah buku yang nantinya menjadi amat populer, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Buku tersebut merupakan penyesuaian pemahaman Tan Malaka mengenai teori-teori Marx dengan situasi dan kondisi Indonesia pada waktu itu. Madilog diselesaikannya hampir satu tahun hingga uang tabungannya menipis. Untuk meneruskan kehidupannya Tan Malaka menerima tawaran untuk bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, di selatan Banten.
Masyarakat setempat dan para romusha yang bekerja di pertambangan mengenalnya sebagai seorang juru tulis yang baik hati. Ia sempat mengorganisir para pemuda untuk memperbaiki nasib para romusha, membangun rumah sakit, membuat dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para romusha, membentuk tim sepak bola, serta melatih dan membentuk kelompok sandiwara. Ketika Sukarno dan Hatta, sebagai pengurus Putera (Pusat Tenaga Rakyat), berkunjung ke Bayah pada tahun 1944, Tan Malaka menjadi anggota panitia penyambutan. Sukarno dan Hatta tidak mengenalinya sebagai Tan Malaka. Pertanyaan Tan Malaka terhadap Sukarno mengenai kemerdekaan Indonesia sempat membuat Sukarno marah. Ketika kelompok Sukarno dan Hatta masih meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, Tan Malaka bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan kekuatan rakyat Indonesia. Beberapa kali ia diutus ke Jakarta untuk menjadi utusan Bayah dalam pertemuan-pertemuan dengan para politisi namun masih dengan nama samaran Ilyas Hussein.

Indonesia Merdeka
            Tan Malaka merupakan pribadi yang amat kharismatik di kalangan para aktivis. Saking kharismatiknya sehingga ketika ia masih menggunakan nama samaran Ilyas Hussein, di Jakarta sering muncul orang-orang yang mengaku sebagai Tan Malaka. Hal ini menunjukkan bahwa Tan Malaka memiliki pengikut yang banyak terutama di Jakarta. Sebagian para aktivis perjuangan di Jakarta sebenarnya sudah sering bertemu dengan Tan Malaka tetapi mereka tidak mengenalinya karena ia masih menggunakan nama Ilyas Hussein. Kedok Tan Malaka mulai terkuat manakala ia bertamu ke rumah Soebardjo pada tanggal 25 Agustus 1945, satu minggu setelah Indonesia merdeka. Dalam otobiografinya Soebardjo menuliskan tentang pertemuan itu:...”Ketika saya mendekatinya, saya kaget, “Wah, kau Tan Malaka”, kata saya. “Saya kira kau sudah mati, sebab saya baca di surat kabar bahwa kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan di Birma, ada lagi kabar bahwa kau ada di Yarusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel”. Tan Malaka lalu menjawab dalam bahasa Belanda yang artinya, “Alang-alang tokh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.”
            Kemerdekaan yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 nyaris terasa tanpa gairah dan sepi. Di beberapa tempat proklamasi kemerdekaan memang disambut dengan gembira tetapi serasa tanpa roh tanpa sebuah aksi massa yang besar bergelombang. Tanpa sebuah aksi massa maka tidak akan ketahuan mana lawan dan mana kawan yang pro kemerdekaan. Hal itu juga penting untuk menyambut Sekutu yang mulai mendarat di Jakarta tanggal 9 September 1945 yang akan melucuti tentara Jepang. Dengan aksi massa maka Sekutu akan berhati-hati bahwa karena Indonesia benar-benar telah merdeka dan didukung oleh rakyat. Dalam situasi semacam ini Tan Malaka berpikir bahwa sudah tiba waktunya untuk menerapkan strategi politik yang sudah lama dianutnya, yaitu “massa-actie”, pengerahan kekuatan rakyat. Maka pada pertemuan pemuda tanggal 15 September 1945 ia mengusulkan agar rakyat dikumpulkan dalam rapat besar-besaran yang akan dilaksanakan di Lapangan Ikada (Monas saat ini). Rapat raksasa itu bisa diselenggarakan pada tanggal 19 September 1945 dengan penjagaan yang amat ketat dari Bala Tentara Jepang dengan senjata-senjata yang siap menyalak.Ribuan orang mengalir dari segala penjuru Jakarta menuju ke Lapangan Ikada dengan harapan dapat mendengarkan pidato Bung Karno.  Penjagaan yang amat ketat tersebut telah menyebabkan Bung Karno tidak jadi berpidato untuk menghindari pertumpahan darah. Ia hanya berpesan agar rakyat tenang dan pulang ke rumah masing-masing. Tan Malaka ada di dekat Bung Karno ketika memasuki Lapangan Ikada. Ia cukup kecewa dengan pidato (himbauan) Bung Karno yang amat lunak dan menunjukkan kebimbangan.
          
Tidak Haus Kekuasaan
            Tan Malaka adalah sosok yang amat populer baik di kalangan para aktifis maupun di kalangan rakyat Indonesia walaupun selama bertahun-tahun ia bergerak di bawah tanah dengan menggunakan nama samaran. Oleh karena itu kemunculannya yang terang-terangan di Jakarta telah membuat rekan-rekannya mengusulkan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar Tan Malaka dilibatkan dalam pemerintahan. Tanggal 23 September Soebardjo mengundang Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh politik lainnya untuk bertemu Tan Malaka di rumahnya. Dalam kesempatan itu Tan Malaka menanggalkan nama samarannya. Dalam kesempatan itu Tan Malaka berbicara tentang pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya tentang perjuangan Republik Indonesia. Pada kesempatan itu Hatta kemudian memintanya agar Tan Malaka mau menjadi Menteri Penerangan. Tan Malaka menolak tawaran tersebut dan mengatakan: “Di waktu sekarang saudara berdua, Sukarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang saudara”. Walaupun menolak menjadi menteri penerangan, ia kemudian secara sukarela berkeliling Jawa untuk memberi penerangan kepada rakyat tentang pentingnya perjuangan.

Menolak Berkompromi
Kedatangan kembali tentara Sekutu ke Indonesia pada akhir tahun 1945 ditanggapi secara beragam oleh kelompok-kelompok masyarakat. Rakyat curiga bahwa Sekutu memiliki misi memuluskan Belanda  untuk menjajah kembali Indonesia. Sjahrir yang pada waktu itu sudah menduduki jabatan Perdana Menteri menghendaki agar bangsa Indonesia menghadapi mereka dengan jalan diplomasi. Ia didukung oleh sebagian besar politisi sipil seperti Sukarno dan Hatta. Sedangkan Tan Malaka menghendaki agar mereka dihadapi dengan kekuatan rakyat. Tentara Belanda harus diusir dan Indonesia harus merdeka seratus persen. Konsepnya sejalan dengan Jenderal Sudirman, bahwa Belanda harus dihadapi dengan mengangkat senjata. Tidak ada kata berunding di dalam pikiran Tan Malaka.
Menghadapi situasi semacam ini Tan Malaka kemudian mengorganisir berbagai kelompok perjuangan di Indonesia dan membentuk Persatoean Perdjoeangan atau Volksfront (front rakyat).  Organisasi ini dibentuk di Purwokerto tanggal 4 Januari 1946. Dalam pidato sambutannya yang tanpa catatan apa pun ia menekankan perlunya pengakuan kemerdekaan seratus persen dengan cara musuh harus keluar dari Indonesia. Baru sesudah itu dan sesudah musuh meninggalkan Indonesia dimungkinkan dilakukan perundingan. ”Orang toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya... Selama masih ada satu orang musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan.” Jenderal Sudirman yang hadir dalam pertemuan di Purwokerto tersebut menyambut gembira gagasan Tan Malaka. Ia yang berpidato setelah Tan Malaka mengatakan ”Kedudukan dan kewajiban tentara yang saya pimpin ialah mempertahankan kemerdekaan seratus persen. Tentara timbul tenggelam dengan negara.” Pidatonya diakhiri dengan kalimat,”Lebih baik diatoom sama sekali dari pada merdeka ta’ seratus persen”, yang menjadi tajuk berita koran-koran pada waktu itu.
Persatoean Perdjoeangan dan Tan Malaka mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah yang bersikukuh mengambil jalan diplomasi. Sikapnya ini dianggap menentang pemerintahan yang syah. Sjahrir merasa sangat kesulitan dengan agitasi di dalam negeri yang begitu hebat. Atas saran dari orang-orang di sekelilingnya ia memutuskan agar Tan Malaka ditangkap. Sesudah Kongres Persatoean Perdjoeangan di Madiun pada bulan Maret 1946 Tan Malaka dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta tanpa diadili.

Meninggal di Tangan Kawan Seperjuangan
            Tan Malaka nampaknya ditakdirkan untuk memperjuangkan Indonesia dari balik tabir. Ketika ia secara terang-terangan muncul ke permukaan, pada saat itulah ia mengalami berbagai kesulitan sampai akhirnya ajal menjemput. Bisa jadi hal ini dikarenakan ide-ide perjuangannya yang kelewat radikal, melampaui zamannya. Bersamaan dengan meletusnya pemberontakaan PKI di Madiun, Tan Malaka dibebaskan dari penjara Magelang. Beberapa hari kemudian ia bersama Sukarni mendirikan Partai Murba. Tanggal 19 Desember 1948 Ibukota RI Yogyakarta diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer Kedua. Sukarno-Hatta dan beberapa pemimpin Republik ditawan oleh Belanda. Jenderal Sudirman beserta tentaranya memutuskan untuk melawan Belanda dengan cara bergerilya. Jalan ini juga ditempuh oleh Tan Malaka. Bersama dengan pasukan kecil tentara ia bergerilya ke pedalaman Jawa Timur. Nasib naas menimpa dirinya, karena dituduh melakukan agitasi dan menghasut rakyat, Tan Malaka kemudian dibunuh oleh sekelompok tentara lain yang dipimpin oleh Soekotjo dengan cara ditembak. Langkahnya dianggap membahayakan perjuangan Republik Indonesia. Sampai saat ini makamnya masih misterius. Menurut sejarawan yang bertahun-tahun meneliti kehidupan Tan Malaka, Harry A. Poeze, kemungkinan besar makamnya ada di Desa Selopanggung, di lereng Gunung Wilis, Kediri. Tan Malaka telah mengambil langkah yang salah di akhir hayatnya dengan bergerilya bersama pasukan yang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar