Tan Malaka dan Nil Maizar, Sejarah yang Terulang?
OPINI | 02 March 2013 | 19:02


Tan Malaka dan Nil Maizar, dua sosok anak manusia yang terlahir di zaman yang berbeda. Hanya sebuah kebetulan, jika keduanya lahir di Sumatra Barat. Tapi, takdir pula yang telah menentukan keduanya lahir dari sebuah tempat bernama Payakumbuh. Hanya beda kampung kecilnya, Tan Malaka di Pandam Gadang, Nil Maizar di Nunang.
Mungkin terlalu lebay, atau tidak pada tempatnya membandingkan kedua orang ini. Namun, disadari atau tidak, garis perjalanan hidup, telah membawa keduanya masuk dalam lingkaran persamaan nasib yang rada -rada mirip, dengan satu muara kata, Indonesia.
—–
Tan Malaka (2 Juni 1897)
Siapa yang tak akan meringis, dan terhenyak saat membuka lembaran sejarah, tentang sosok Tan Malaka. Berpuluh-puluh tahun nama tokoh ini absen dari buku-buku sejarah Indonesia. Namanya hanya samar-samar terdengar dalam penulisan sejarah perjuangan bangsa.
Padahal, perannya sungguh tak kecil bagi bangsa ini, untuk seseorang yang mendapat gelar “Bapak Republik Indonesia”. Dia tokoh pertama yang menggagas secara tertulis Konsep Republik Indonesia.
Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia ) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) 1928, dan Bung Karno yang menulis Menuju Indonesia merdeka, 1933 . Fakta ini diungkap oleh Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan Malaka selama berpuluh tahun.
Bahkan, seorang pahlawan besar yang membidani lahirnya Pancasila seperti Muhammad Yamin pun, menyebut Tan Malaka sebagai; “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai”.
WR Supratman, pencipta anthem bangsa ini menuliskan, dia mengambil kalimat “Indonesia Tanah tumpah darahku” untuk lagu Indonesia Raya, terinsiprasi dari buku “massa Actie” yang ditulis Tan Malaka. Pada bab “Khayal Seorang Revolusioner” itu, Tan Malaka menulis, “dimuka bagian laskar, itulah tempatmu berdiri….kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Diluar fakta itu, Ibrahim Datuk Tan Malaka, adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner. Tokoh yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ironisnya, nama Tan Malaka justru lebih berkibar di luar Indonesia. Dia pejuang yang disetarakan dengan Yose Rizal, Ho chi Mint, atau Che Guevara. Reputasi yang membuat seorang Harry Albert Poeze, rela menghabiskan separoh umurnya untuk meneliti Tan Malaka.
Justru di tanah airnya sendiri, nilai-nilai perjuangannya justru dikubur. Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Sebuah kebodohan rezim Orde Baru yang menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Dan kebodohan itu yang membuat Tan Malaka digelari “pahlawan yang terlupakan”

——-
Nil Maizar (2 Januari 1970)
15 April 2012, sekitar jam 17.30 WIB, ditengah standing ovation ribuan pendukung Semen Padang FC di Stadion H.Agus Salim, seorang Nil Maizar terbata-bata mengucapkan salam perpisahan untuk pendukung tim. Meski berusaha keras menyembunyikan, tapi rembesan air mata tetap mengalir di pipinya.
Itulah hari-hari terakhir Nil di SPFC. Sebuah kemenangan 2-1 atas Persebaya Surabaya dipersembahkannya, sebelum dia menuju tugas baru melatih Timnas Indonesia. Perpisahan yang akan selalu dikenang fans SPFC dan masyarakat Kota Padang, bahkan Sumbar, demi melepas salah satu putra terbaiknya untuk sebuah tugas negara.
“Saya sangat terhormat bisa menjadi pelatih Semen Padang. Terima kasih, untuk dukungan masyarakat Kota Padang dan Semen Padang, semoga saya bisa mengemban tugas sebaik-baiknya di Timnas. Insya Allah, saya akan kembali lagi ke Padang,”itu salah satu poin pidato perpisahan Nil.
Nil ke Timnas, bukanlah kehendaknya. PSSI yang memintanya dengan setengah memohon, ketika tak ada lagi pelatih yang bersedia, karena “gamang” dengan kondisi konflik PSSI. Tapi Nil menyambutnya, walau dia tahu medan seperti apa yang akan ditemuinya di Jakarta nanti.
Baginya ini sebuah panggilan yang harus dipenuhi, ketika negara membutuhkan tenaganya. Berbekal izin, dorongan, dan semangat dari PT.SP sebagai lembaga tempatnya bekerja, serta dukungan dari keluarga dan sahabat, Nil pun memulai hari-harinya di timnas.
Hari-hari yang penuh dinamika, hari demi hari yang tak pernah sepi dari deraan masalah, hari-hari yang penuh hujatan, caci-maki, dan merendahkan dirinya, baik di media massa maupun media jejaring sosial. Itulah konsumsi wajib Nil selama 11 bulan di Timnas.
“Mereka tak tahu, apa yang saya hadapi dan seperti apa saya bekerja disini. Biarlah hanya masyarakat luas yang menilai dan Tuhan Yang Tahu.”ujarnya suatu ketika.
Nil tak hendak mengeluh, sedikitpun tidak. Dia tak pernah menyalahkan siapapun, karena memang itulah situasi riil yang dihadapinya. Dia hanya berusaha melakukan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, ditengah berbagai keterbatasan timnas.
Nil pun tak hendak membela diri, ketika para penghujat memuntahkan peluru-pelurunya kepada timnas. Dia hanya memasang badan untuk melindungi para pemainnya. Merelakan dirinya dijadikan sasaran tembak orang-orang yang melihat sepakbola itu hanya sebatas skor kemenangan dan titel juara.
Kini, Nil ditendang dari timnas, dicampakan dengan cara-cara yang sangat memiriskan hati. Nil diperlakukan, bahkan seperti dikorbankan begitu saja ibarat pion catur, ketika tenaganya tak dibutuhkan lagi.
Jika sekarang Nil berjuang seorang diri mempertanyakan nasib dan hak-haknya di timnas dan minta diperlakukan secara manusiawi, itu adalah hal yang sudah sepantasnya dilakukan. Sejujurnya, dia bukanlah seekor cacing yang bisa Anda injak-injak begitu saja.
Dia tak menuntut macam-macam, kalau memang diberhentikan, lakukan menurut prosedur yang berlaku, terbuka, dan sama-sama menghormati kontrak yang sudah ditandatangani bersama PSSI. Bukan dengan cara menggantung nasibnya seperti sekarang.
Terlihat konyol sekali, ketika Ketum PSSI Profesor Djohar Arifin berkata di media: “Kami (saya dan Exco) tidak memecat Nil. Saya kembalikan keputusannya kepada dia, apakah masih mau bergabung dengan timnas Senior, atau memilih tim mana yang akan dilatih,” ujar Djohar (Tribunnews.com, Jumat (1/3/2013).
Tidak ada sejarahnya, dalam ikatan kontrak kerja profesional bisa dengan entengnya si pekerja digeser-geser atau dipersilahkan memilih pekerjaan baru, setelah dilengserkan begitu saja. Kalau begini, apa gunanya kertas kontrak yang ditandatangani kedua belah pihak. Dalam kontrak profesional, setahu saya hanya berlaku dua hal bagi si pengontrak, lanjut terus sesuai isi kontrak atau berhentikan.
Sejatinya, Nil Maizar juga akan menerima pemberhentian dengan jiwa besarnya, kalau memang itu akan bisa membuat timnas lebih baik dan berprestasi. Demi Timnas, dia juga tak ingin merusak rekonsiliasi yang tengah dibangun, dengan memberi ruang kepada orang yang dianggap lebih mampu menangani Timnas.
Well, kenapa Profesor mesti repot-repot bersikap seperti memaksa Nil Maizar memecat dirinya sendiri? Padahal apa susahnya mengeluarkan surat pemberhentian dan membayar hak-hak Nil sebagai kompensasi pemutusan kontrak. Sedangkan untuk membayar Manuel Blanco Rp5 M dua tahun, PSSI dan BTN sepertinya enteng saja.
Satu lagi, Nil juga tak akan meminta kompensasi sebesar Roman Abramovich memberi pesangon pada Jose Mourinho, Peliphe Scolari, Andre Villas-Boas, ataupun Roberto di Matteo.
—-
Pada titik ini, saya mencoba menyamakan nasib Nil Maizar dengan Tan Malaka. Dalam skala berbeda, dua orang yang sudah mencoba memberikan dirinya, tenaganya, dan perjuangannya untuk bangsa ini, tapi justru diperlakukan tak manusiawi. Berilah sedikit respek untuk mereka, karena kita semua, termasuk saya, belum tentu bisa berbuat seperti mereka.
Jangan biarkan sejarah berulang, cukup sudah Tan Malaka saja yang menjadi simbol kesalahan sejarah bangsa. Sehingga sejarah kita di masa depan tidak terbiasa dan begitu mudah melupakan jasa orang-orang yang telah berbuat sesuatu untuk negeri ini.

——
Artikel ini:
-Ditulis dari berbagai sumber sejarah (Tan Malaka)
-Interview (Nil Maizar)
-Berbagai Media
-Terselip Opini Pribadi…
Mohon maaf sebelumnya, dan diharapkan koreksinya bila ada kesalahan
Mungkin terlalu lebay, atau tidak pada tempatnya membandingkan kedua orang ini. Namun, disadari atau tidak, garis perjalanan hidup, telah membawa keduanya masuk dalam lingkaran persamaan nasib yang rada -rada mirip, dengan satu muara kata, Indonesia.
—–
Tan Malaka (2 Juni 1897)
Siapa yang tak akan meringis, dan terhenyak saat membuka lembaran sejarah, tentang sosok Tan Malaka. Berpuluh-puluh tahun nama tokoh ini absen dari buku-buku sejarah Indonesia. Namanya hanya samar-samar terdengar dalam penulisan sejarah perjuangan bangsa.
Padahal, perannya sungguh tak kecil bagi bangsa ini, untuk seseorang yang mendapat gelar “Bapak Republik Indonesia”. Dia tokoh pertama yang menggagas secara tertulis Konsep Republik Indonesia.
Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia ) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) 1928, dan Bung Karno yang menulis Menuju Indonesia merdeka, 1933 . Fakta ini diungkap oleh Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan Malaka selama berpuluh tahun.
Bahkan, seorang pahlawan besar yang membidani lahirnya Pancasila seperti Muhammad Yamin pun, menyebut Tan Malaka sebagai; “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai”.
WR Supratman, pencipta anthem bangsa ini menuliskan, dia mengambil kalimat “Indonesia Tanah tumpah darahku” untuk lagu Indonesia Raya, terinsiprasi dari buku “massa Actie” yang ditulis Tan Malaka. Pada bab “Khayal Seorang Revolusioner” itu, Tan Malaka menulis, “dimuka bagian laskar, itulah tempatmu berdiri….kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Diluar fakta itu, Ibrahim Datuk Tan Malaka, adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner. Tokoh yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ironisnya, nama Tan Malaka justru lebih berkibar di luar Indonesia. Dia pejuang yang disetarakan dengan Yose Rizal, Ho chi Mint, atau Che Guevara. Reputasi yang membuat seorang Harry Albert Poeze, rela menghabiskan separoh umurnya untuk meneliti Tan Malaka.
Justru di tanah airnya sendiri, nilai-nilai perjuangannya justru dikubur. Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Sebuah kebodohan rezim Orde Baru yang menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Dan kebodohan itu yang membuat Tan Malaka digelari “pahlawan yang terlupakan”

——-
Nil Maizar (2 Januari 1970)
15 April 2012, sekitar jam 17.30 WIB, ditengah standing ovation ribuan pendukung Semen Padang FC di Stadion H.Agus Salim, seorang Nil Maizar terbata-bata mengucapkan salam perpisahan untuk pendukung tim. Meski berusaha keras menyembunyikan, tapi rembesan air mata tetap mengalir di pipinya.
Itulah hari-hari terakhir Nil di SPFC. Sebuah kemenangan 2-1 atas Persebaya Surabaya dipersembahkannya, sebelum dia menuju tugas baru melatih Timnas Indonesia. Perpisahan yang akan selalu dikenang fans SPFC dan masyarakat Kota Padang, bahkan Sumbar, demi melepas salah satu putra terbaiknya untuk sebuah tugas negara.
“Saya sangat terhormat bisa menjadi pelatih Semen Padang. Terima kasih, untuk dukungan masyarakat Kota Padang dan Semen Padang, semoga saya bisa mengemban tugas sebaik-baiknya di Timnas. Insya Allah, saya akan kembali lagi ke Padang,”itu salah satu poin pidato perpisahan Nil.
Nil ke Timnas, bukanlah kehendaknya. PSSI yang memintanya dengan setengah memohon, ketika tak ada lagi pelatih yang bersedia, karena “gamang” dengan kondisi konflik PSSI. Tapi Nil menyambutnya, walau dia tahu medan seperti apa yang akan ditemuinya di Jakarta nanti.
Baginya ini sebuah panggilan yang harus dipenuhi, ketika negara membutuhkan tenaganya. Berbekal izin, dorongan, dan semangat dari PT.SP sebagai lembaga tempatnya bekerja, serta dukungan dari keluarga dan sahabat, Nil pun memulai hari-harinya di timnas.
Hari-hari yang penuh dinamika, hari demi hari yang tak pernah sepi dari deraan masalah, hari-hari yang penuh hujatan, caci-maki, dan merendahkan dirinya, baik di media massa maupun media jejaring sosial. Itulah konsumsi wajib Nil selama 11 bulan di Timnas.
“Mereka tak tahu, apa yang saya hadapi dan seperti apa saya bekerja disini. Biarlah hanya masyarakat luas yang menilai dan Tuhan Yang Tahu.”ujarnya suatu ketika.
Nil tak hendak mengeluh, sedikitpun tidak. Dia tak pernah menyalahkan siapapun, karena memang itulah situasi riil yang dihadapinya. Dia hanya berusaha melakukan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, ditengah berbagai keterbatasan timnas.
Nil pun tak hendak membela diri, ketika para penghujat memuntahkan peluru-pelurunya kepada timnas. Dia hanya memasang badan untuk melindungi para pemainnya. Merelakan dirinya dijadikan sasaran tembak orang-orang yang melihat sepakbola itu hanya sebatas skor kemenangan dan titel juara.
Kini, Nil ditendang dari timnas, dicampakan dengan cara-cara yang sangat memiriskan hati. Nil diperlakukan, bahkan seperti dikorbankan begitu saja ibarat pion catur, ketika tenaganya tak dibutuhkan lagi.
Jika sekarang Nil berjuang seorang diri mempertanyakan nasib dan hak-haknya di timnas dan minta diperlakukan secara manusiawi, itu adalah hal yang sudah sepantasnya dilakukan. Sejujurnya, dia bukanlah seekor cacing yang bisa Anda injak-injak begitu saja.
Dia tak menuntut macam-macam, kalau memang diberhentikan, lakukan menurut prosedur yang berlaku, terbuka, dan sama-sama menghormati kontrak yang sudah ditandatangani bersama PSSI. Bukan dengan cara menggantung nasibnya seperti sekarang.
Terlihat konyol sekali, ketika Ketum PSSI Profesor Djohar Arifin berkata di media: “Kami (saya dan Exco) tidak memecat Nil. Saya kembalikan keputusannya kepada dia, apakah masih mau bergabung dengan timnas Senior, atau memilih tim mana yang akan dilatih,” ujar Djohar (Tribunnews.com, Jumat (1/3/2013).
Tidak ada sejarahnya, dalam ikatan kontrak kerja profesional bisa dengan entengnya si pekerja digeser-geser atau dipersilahkan memilih pekerjaan baru, setelah dilengserkan begitu saja. Kalau begini, apa gunanya kertas kontrak yang ditandatangani kedua belah pihak. Dalam kontrak profesional, setahu saya hanya berlaku dua hal bagi si pengontrak, lanjut terus sesuai isi kontrak atau berhentikan.
Sejatinya, Nil Maizar juga akan menerima pemberhentian dengan jiwa besarnya, kalau memang itu akan bisa membuat timnas lebih baik dan berprestasi. Demi Timnas, dia juga tak ingin merusak rekonsiliasi yang tengah dibangun, dengan memberi ruang kepada orang yang dianggap lebih mampu menangani Timnas.
Well, kenapa Profesor mesti repot-repot bersikap seperti memaksa Nil Maizar memecat dirinya sendiri? Padahal apa susahnya mengeluarkan surat pemberhentian dan membayar hak-hak Nil sebagai kompensasi pemutusan kontrak. Sedangkan untuk membayar Manuel Blanco Rp5 M dua tahun, PSSI dan BTN sepertinya enteng saja.
Satu lagi, Nil juga tak akan meminta kompensasi sebesar Roman Abramovich memberi pesangon pada Jose Mourinho, Peliphe Scolari, Andre Villas-Boas, ataupun Roberto di Matteo.
—-
Pada titik ini, saya mencoba menyamakan nasib Nil Maizar dengan Tan Malaka. Dalam skala berbeda, dua orang yang sudah mencoba memberikan dirinya, tenaganya, dan perjuangannya untuk bangsa ini, tapi justru diperlakukan tak manusiawi. Berilah sedikit respek untuk mereka, karena kita semua, termasuk saya, belum tentu bisa berbuat seperti mereka.
Jangan biarkan sejarah berulang, cukup sudah Tan Malaka saja yang menjadi simbol kesalahan sejarah bangsa. Sehingga sejarah kita di masa depan tidak terbiasa dan begitu mudah melupakan jasa orang-orang yang telah berbuat sesuatu untuk negeri ini.

——
Artikel ini:
-Ditulis dari berbagai sumber sejarah (Tan Malaka)
-Interview (Nil Maizar)
-Berbagai Media
-Terselip Opini Pribadi…
Mohon maaf sebelumnya, dan diharapkan koreksinya bila ada kesalahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar