Minggu, 23 Februari 2014

HRW: Pemerintah Myanmar Terlibat Dalam Pembantaian Muslim Rohingya

human rights watchBANGKOK (an-najah) – Dugaan soal keterlibatan pemerintah dalam kerusuhan etnis di Negara Bagian Rakhine, pantai barat Myanmar, tahun lalu ternyata bukan isapan jempol. Human Rights Watch (HRW) Senin (22/4) membeber temuan mereka soal adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konflik antara etnis Rakhine yang beragama Buddha dan etnis Muslim Rohingya tersebut.
Organisasi internasional di bidang HAM yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS), itu menyatakan bahwa kekerasan sektarian oleh warga Buddha Rakhine terhadap Muslim Rohingya itu merupakan aksi pembersihan atau pemusnahan etnis yang didukung pemerintah Myanmar.
Laporan HRW itu didukung oleh temuan adanya kuburan masal maupun pengusiran secara paksa Muslim Rohingya. Puluhan ribu warga Rohingya harus mengungsi ke negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Muslim Rohingya yang statusnya tidak diakui pemerintah Myanmar itu dilaporkan mengalami berbagai bentuk kejahatan seperti pembunuhan, diskriminasi, dan pengusiran.
Menurut HRW, aparat pemerintah, pemimpin masyarakat lokal, maupun para bhiksu (rohaniawan agama Buddha) ikut mengorganisasi dan mendorong massa agar melakukan serangan secara berencana ke wilayah permukiman Muslim di Rakhine pada Oktober tahun lalu. Aksi mereka didukung polisi atau aparat keamanan Myanmar.
“Pemerintah Burma (Myanmar, Red) jelas terlibat upaya pembersihan etnis Rohingya yang prosesnya berlangsung hingga hari ini. Caranya, mereka menutup akses bantuan kemanusiaan dari luar (negeri) dan melarang pergerakan warga Rohingya,” papar Deputi Direktur HRW Asia Phil Robertson dalam keterangan pers di Bangkok, Thailand, kemarin.
Laporan HRW tersebut dirilis pada hari yang sama saat Uni Eropa (UE) dijadwalkan mengumumkan pencabutan semua sanksi atas Myanmar, kecuali embargo senjata. Robertson menilai langkah UE itu prematur dan tak pantas diberikan kepada Myanmar. Bahkan, HRW menganggap keputusan itu bakal memperlemah pengaruh UE di mata pemerintahan Presiden Thein Sein.
Sanksi ekonomi tersebut temasuk pembekuan aset lebih dari seribu perusahaan Myanmar, larangan bepergian bagi pejabat pemerintah, dan larangan investasi UE di beberapa wilayah tertentu.
Seperti dilansir dari jpnn, Robertson menyeru seluruh negara donor internasional, termasuk AS, supaya meningkatkan tekanan atas Myanmar agar terus mengupayakan reformasi demokrasi. “Situasi di Rakhine, kalau dibiarkan memburuk, akan mengancam upaya reformasi itu sendiri,” jelasnya.
HRW menggarisbawahi bahwa meski pembersihan etnis bukanlah istilah hukum formal, tindakan itu biasa merujuk pada kebijakan yang dibuat suatu etnis atau kelompok tertentu untuk melenyapkan kelompok lain di suatu wilayah dengan menggunakan kekerasan atau teror.
Di Rakhine, menurut HRW, lebih dari 125 ribu Muslim Rohingya dan kelompok Muslim lainnya telah diusir secara paksa. Mereka juga tak mendapat akses terhadap bantuan kemanusiaan dan dilarang kembali ke rumah mereka.
Temuan HRW itu diperkuat video yang diperoleh oleh BBC. Dalam rekaman video itu, tampak keterlibatan aparat keamanan dalam rusuh di Meiktila, Provinsi Mandalay, bagian tengah Myanmar, bulan lalu. Rekaman amatir itu memperlihatkan polisi hanya berdiri dan diam menyaksikan massa Budha merusak toko emas milik warga Muslim. Dalam kekerasan Buddha-Muslim saat itu, 43 orang tewas. Seorang pria Muslim terbakar dalam rekaman tersebut.
Pemerintah Myanmar bereaksi keras atas laporan HRW itu. Jubir Kepresidenan Myanmar Ye Htut menuduh HRW sengaja merilis laporan tersebut bersamaan dengan rencana UE mengumumkan keputusan untuk mencabut sanksinya. “Pemerintah (Myanmar) tidak akan menggubris laporan seperti itu,” katanya lewat akun Facebook miliknya.
Dia lantas menegaskan bahwa pemerintah Myanmar akan menunggu laporan dan hasil investigasi dari komisi resmi yang dibentuk untuk menyelidiki kekerasan itu. Laporan komisi tersebut sudah beberapa kali ditunda.  [fajar/an-najah]

  • Anak & Keluarga
  • Kultur
  • Lancong
  • Panggung
  • Rumah
  • Seni
  • Laporan Utama
  • ARSIPARSIP
  • E-PAPERE-PAPER
  • TENTANG KAMITENTANG KAMI
  • Pembantaian Muslim Berlanjut PDF Cetak Surel
    Selasa, 24 Juli 2012 02:20
    SAN SUU KYI  TUTUP MATA
    DAKKA, HALUAN — Kelompok Hak-hak Asasi Manusia Amnesty International melaporkan pasukan Myanmar dan kaum Budha suku Rakhine terus menyerang kaum muslim minoritas Rohingya di Myamnar.
    Ironisnya, tokoh  demokrasi Myanmar, Ang San Suu Kyi yang juga  pemenang penghargaan Nobel Perdamaian, bungkam dan tidak menentang kekejaman  dan  aksi genosida terhadap etnis Muslim itu.
    Ibadah Ramadan kini  tak bisa dilakukan dengan tenang oleh etnis Rohingya yang mayo­ritas muslim di Myanmar. Keke­rasan komunal terus berlangsung di Myanmar barat, enam minggu setelah pemerintah mengumum­kan keadaan darurat. Amnesty International mengklaim mino­ritas muslim Rohingya dipukuli, diperkosa, dan dibunuh.
    “Penyerangan dilakukan sen­di­ri oleh tentara. Yang lain dilakukan oleh kaum Budha suku Rakhine. Dan pihak kema­nan Myanmar pura-pura tidak tahu,” tulis Amnesty Interna­tional, Ahad waktu setempat.
    Amnesti internasional me­minta Yangoon menerima etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar, tetapi terus ditolak karena mereka bukan pribumi. “Di bawah hukum internasional hak-hak asasi manusia dan standar yang berlaku, tak seorang pun bisa dianggap tak berkewar­ganegaraan,” ujar Zawacki dari Amnesty Internasional.
    Dilaporkan, sejumlah pem­bunuhan berdarah yang mulai meletup sejak Juni  telah menim­bulkan korban tewas dari kedua belah pihak dan dengan cepat menjalar kota-kota dan desa sepanjang pantai negara bagian Rakhine.
    Kekerasan membara terjadi sejak dua pekan lalu. Pemerintah mengatakan paling tidak ada 78 orang tewas terbunuh dan ribuan rumah dibakar atau dirusak yang kerugiannya ditaksir fifty-fifty antara kubu Rohingya dan kubu Rakhine.
    Kantor berita Iran, Irib, melaporkan,  kini banyak warga etnis Muslim Rohingya yang berusaha meninggalkan negara ini menyusul penindasan siste­matis oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah menolak mengakui status kewarganegaraan etnis Muslim Rohingya dan mengklaim bahwa mereka bukan penduduk pribumi asli dan sebagai imigran haram, meski mereka telah tinggal di negara ini selama berabad-abad
    Di Depan Mata
    Zohara  Khatun seorang warga muslim Rohingya yang berhasil menyeberang ke Bang­lades  masih menderita trauma sejak melihat ayahnya dibunuh di Myanmar barat Juni lalu. “Ayah saya ditembak oleh militer Myanmar di depan saya. Desa kami dihancurkan. Kami berlari menyelamatkan diri. Saya masih tidak tahu apa yang terjadi pada ibu saya,” kata dia.
    Perempuan berusia 30 tahun itu beberapa kali menangis ketika menjelaskan apa yang terjadi di perbatasan. Ia mengatakan desanya dise­rang.  Hampir 80 orang tewas dalam pertempuran itu dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
    Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh pasukan ke­ama­nan Myanmar terus melaku­kan penangkapan massal dan memaksa muslim Rohingya melarikan diri. Situasi darurat yang ditetapkan bulan lalu masih berlaku di banyak wilayah pro­vinsi tersebut.
    Pengungsi yang berbicara pada wartawan BBC Anbarasan Ethirajan menuduh pasukan Myanmar menutup mata ketika desa mereka diserang. “Suami saya dibunuh dalam kerusuhan itu. Polisi Myanmar hanya me­nem­baki muslim,” kata Sayeda Begum, seorang wanita muslim Rohingya.
    Warga Rohingya di Banglades tinggal di gubuk-gubuk sepanjang perbatasan tanpa air bersih, sanitasi atau fasilitas kesehatan.
    Ironisnya, tokoh politik dan demokrasi Myanmar, Ang San Suu Kyi yang juga  pemenang penghargaan Nobel Perdamaian, bungkam dan tidak menentang kekejaman serta aksi genosida terhadap etnis Muslim Rohingya.
    Kebungkaman Ang San Suu Kyi itu sangat mengejutkan setelah Presiden Myanmar, Thein Sein, mantan jenderal junta pada Kamis  menyatakan bahwa “satu-satunya solusi” adalah mengusir hampir satu juta warga etnis Muslim Rohingya—salah satu etnis minoritas paling tertindas di dunia—ke kamp-kamp pe­ngungsi yang dikelola oleh Ko­misaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
    Pernyataan terbaru oleh Presiden Myanmar Thein Sein bahwa Rohingya harus tinggal di negara ketiga juga menambah kesedihan para pengungsi. “Kami sangat prihatin dengan komentar presiden. Kami adalah rakyat Myanmar dan kami ingin kembali ke desa kami. Sangat sulit hidup di kamp pengungsian seperti ini,” kata Ahmed Hossain, seorang pemimpin komunitas Rohingya di kamp Kutupalong, dekat Cox’s Bazaar. (h/dn/irb/bbc

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar