Jumat, 07 Februari 2014

Ulama Minangkabau

   

Seorang ketenteraan Belanda bersama tetua adat dan ulama di Sumatera Barat (1926). Belanda berusaha memulihkan hubungan setelah pecahnya Perang Belasting yang dimotori kalangan ulama, terutama di Kamang Magek, Agam.
Ulama Minangkabau merujuk kepada ahli-ahli agama Islam yang dibesarkan atau berasal dari Minangkabau. Tokoh-tokoh tersebut telah terlibat dalam berbagai peristiwa sejarah perkembangan Islam di Nusantara dan di Sumatera Barat pada khususnya, baik sebagai penyebar agama mahupun sebagai pejuang dalam melawan kolonialisme.

 

Sejarah awal

Rencana utama: Islam di Sumatera Barat
Bila dan dari mana masuknya Islam di Sumatera Barat masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Terdapat petunjuk bahawa pantai timur Sumatera telah disinggahi saudagar-saudagar Islam sejak abad ke-7,[1] sedangkan berita Cina Xin Tangshu menyebutkan bahawa pada tahun, 675 orang-orang Ta-Shih (Arab) telah mempunyai perkampungan di pantai barat Sumatera.[2] Pihak yang mengatakan Islam masuk ke Minangkabau dari pantai timur Sumatera memperkirakannya masuk dari Siak, sementara pihak yang mengatakan masuk dari pantai barat memperkirakannya masuk dari Aceh.[3] Budayawan A.A. Navis berpendapat bahawa Islam telah masuk daripada Aceh sejak abad ke-8.[4]
Para ahli geografi muslim abad ke-9 dan 10, seperti Ibnu Khurdadzbih dan Al-Biruni, menuliskan bahawa Sumatera (yang mereka sebut sebagai Zabaj) adalah bahagian laluan perdagangan mereka menuju China.[5] Pengembara Venesia Marco Polo (1292)[6][7] yang singgah di Sumatera menulis bahawa penduduk pedalaman pada umumnya masih belum beragama Islam, sedangkan pengembara Maroko Ibn Battuta (1345)[7] menemukan bahawa Mazhab Syafi'i telah diamalkan oleh masyarakat Pasai. Pengembara Portugal Tomé Pires (1512-1515) secara khas menyatakan bahawa hanya satu daripada "tiga raja Minangkabau" yang ketika itu telah memeluk Islam.[8]
Salah seorang ulama terkemuka pertama Minangkabau ialah Syekh Burhanuddin (1646-1692), yang merupakan pelopor penyebaran Islam di daerah pedalaman Kerajaan Pagaruyung.[9][10] Syeih Burhanuddin yang menetap di negeri Ulakan, Pariaman merupakan murid ulama besar asal Aceh, Syekh Abdurrauf Singkil.[10] Sebaliknya terdapat pula ulama Minangkabau bernama Syekh Halilullah (bahasa Aceh: Teungku di Ujong) yang turut membantu Kesultanan Aceh dalam menyebarkan Islam di Pulau Simeulue.[11][12]

Syiar Islam

Filipina

Seorang tokoh Minangkabau telah tercatat dalam Tarsilah Sulu pernah sampai ke Sulu di Filipina Selatan, di antaranya Raja Bagindo (bahasa Sulu: Rajah Baguinda) yang sampai di Sulu[13] pada sekitar tahun 1397[14] setelah sebelumnya singgah di Zamboanga dan Basilan.[15] Selain Filipina Selatan (Mindanao), Raja Bagindo yang diandaikan hidup pada akhir abad ke-14 itu disebutkan pula turut menyebarkan Islam ke Kalimantan bahagian utara, yakni Brunei, Sarawak, dan Sabah. Ia juga merupakan pengasas Kesultanan Sulu.[16]
Ahli antropologi Mochtar Naim menyatakan bahawa seorang tokoh lain bernama Raja Sulaeman, yang diperkirakan berasal dari Minangkabau, telah menyebarkan Islam sampai ke Manila (1570) sebelum kedatangan kolonialis Sepanyol di sana.[17]

Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara

Masyarakat Sulawesi juga pernah menerima para penyebar Islam Minangkabau ke tanah mereka. Lima orang datuk daripada Minangkabau, Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, Datuk Karama serta Datuk Mangaji telah menyampaikan agama yang mereka anuti sampai waktu ini sejak akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.[18] Dalam Lontara Gowa, Lontara Tallo, dan Lontara Sukkuna Wajo, Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimang disebutkan berasal daripada Koto Tangah, Payakumbuh Barat.[18]
Agama Islam di Kerajaan Kutai juga disebarkan oleh Datuk Ri Bandang bersama-sama Tuan Tunggang Parangan pada masa kerajaan Raja Aji Mahkota, yang memerintah antara tahun 1525 hingga 1589. Sementara Datuk Ri Bandang kembali ke Sulawesi, Tuan Tunggang Parangan menetap di sana dan berperanan besar dalam menyebarkan Islam sehingga rakyat Kutai, Kalimantan Timur akhirnya banyak yang memeluk Islam.[19][20]
Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro disebutkan juga sebagai dua orang tokoh yang membawa agama Islam ke Bima, Nusa Tenggara Barat.[21] Masyarakat Bima menyelenggarakan sebuah upacara bernama Hanta Ua Pua untuk memperingati Maulid Nabi dan masuknya Islam ke Bima oleh para penyebar agama tersebut.[21]

Jawa

Tidak tertutup kemungkinan juga bahawa di tanah Jawa terdapat ulama keturunan Minangkabau. Masyarakat di kota Lasem, Jawa Tengah, mengenal seorang tokoh bernama Sultan Mahmud atau juga disebut Sul­tan Minangkabaui. Menurut cerita rakyat, Sultan Mahmud terdampar di Lasem, dan kemudian menjadi murid Sunan Bonang (1565-1525). Menurut cucu KH Ma’shum, Mu­hammad Zaim bin Ahmad, kakeknya merupakan ke­turunan dari tokoh Sultan Mahmud tersebut.[22]

Perjuangan dan perlawanan


Tuanku Imam Bonjol; ulama Minangkabau abad ke-19
Setelah sekian abad sejak masuknya Islam di Indonesia, timbullah pergesekan antara kolonialisme Belanda dan penduduk setempat. Beberapa ulama besar Minangkabau, selain memimpin umat di bidang agama, turut serta memimpin penentangan rakyat kepada kekuatan kolonial tersebut, baik melalui perjuangan bersenjata mahupun dalam pendidikan umum dan pergerakan.

Masa awal kolonialisme

Rencana utama: Perang Padri
Tiga orang ulama yang kembali dari ibadah haji mereka pada tahun 1804, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, menjadi penganjur gerakan puritanisme agama Islam di Sumatera Barat.[23] Mereka menyerang adat dan kebiasaan lama yang meraka anggap tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama Islam.[23] Terjadilah perang saudara pada tahun 1803-1838 antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang) gerakan tersebut.[23]
Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) adalah ulama dari Bonjol, Pasaman, yang kemudian menjadi salah seorang pemimpin dalam Perang Padri itu.[24] Ia menjadi pemimpin setelah wafatnya Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh yang memimpin Kaum Padri sebelumnya.[24] Tuanku Imam Bonjol di kemudian hari mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pemerintah Indonesia atas perjuangannya dalam melawan kolonialisme.[25]
Pada tahun 1821, Kaum Adat meminta dukungan Belanda untuk mengatasi Kaum Padri.[26] Namun Belanda malah memanfaatkannya untuk memperluas daerah kekuasaannya sendiri, sehingga pada tahun 1833 bergabunglah Kaum Adat bersama Kaum Padri dan berbalik melawan Belanda.[26] Meskipun pada akhirnya peperangan ini dimenangkan Belanda pada tahun 1838, sejarawan Merle Ricklefs berpendapat bahwa Perang Padri meninggalkan kesan yang mendalam di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.[27] Masyarakat menjadi berkomitmen terhadap ajaran Islam yang ortodoks, serta peranan Islam sebagai bagian dalam adat dan kebiasaan masyarakat menjadi amat kuat.[27]

Gerakan reformis dan tradisi


Buya Hamka; ulama Minangkabau abad ke-20
Para ulama Minangkabau sejak tahun 1900-an cenderung lebih berfokus pada pendidikan dan aktiviti intelektual daripada perlawanan fisik. Gerakan modernisme Islam di Timur Tengah, yang antara lain digerakkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha, juga berimbas pada alim ulama Minangkabau di masa itu. Para ulama reformis di Sumatera Barat disebut juga disebut juga "Kaum Muda", sedangkan para ulama penyokong tradisi disebut "Kaum Tua".[23][28]
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860–1916) adalah seorang ulama kelahiran Koto Gadang, Agam, yang menjadi imam besar non-Arab pertama di Masjidil Haram, Mekkah.[29] Ia merupakan guru bagi ulama-ulama besar Nusantara pada zamannya, dan sangat kritikal terhadap adat-istiadat dan praktik tarikat yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran agama.[29] Seorang sepupunya, Syekh Tahir Jalaluddin (1869-1956), juga banyak menganjurkan gagasan pembaharuan dan menerbitkan majalah reformisme Islam Al-Imam (1906) di Singapura yang isinya sejalan dengan majalah Al-Manar terbitan Rasyid Ridha di Mesir.[23]
Syekh Muhammad Jamil Jambek (1860-1947) adalah salah seorang pelopor ulama reformis di Minangkabau.[28] Ia banyak menganjurkan pembaharuan dan pemurnian Islam melalui ceramah atau dakwah secara lisan, serta menulis buku-buku yang menentang praktik tarikat yang berlebihan.[28] Haji Abdul Karim Amrullah (juga dipanggil Haji Rasul atau Inyiak Doto, 1879–1945) berasal dari Sungai Batang, Maninjau adalah tokoh lainnya yang mendirikan sekolah Islam moden Sumatera Thawalib (1919), dan bersama Haji Abdullah Ahmad (1878–1933) merupakan orang Indonesia terawal yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universiti Al-Azhar, Kaherah, Mesir.[30] Selain itu Haji Abdullah Ahmad juga menerbitkan majalah Al-Munir (1911) di Padang, yang mengusung ide kesesuaian Islam dengan sains dan rasionaliti moden.[23] [28] Ulama lainnya Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek, 1882-1963), berasal dari Parabek, Bukittinggi, turut mendirikan Sumatera Thawalib; di mana Syekh Ibrahim Musa mengelola sekolah cabang di Parabek, Bukittinggi, sedangkan Haji Rasul mengelola cabang di Padangpanjang.[28]
Syekh Muhammad Saad Mungka (1857-1942) adalah ulama penyokong tradisi tarikat, yang pernah dua kali mukim di Mekkah (1884-1900 dan 1912-1915).[28] Ia sezaman dengan Syekh Ahmad Khatib, dan keduanya terlibat polemik mengenai tarikat.[28] Syekh Khatib Ali dan Syekh Muhammad Dalil (juga dipanggil Syekh Bayang, 1864–1923) adalah tokoh-tokoh polemik ulama penyokong tradisi yang cukup menonjol. Di sisi lain, Syekh Abbas Qadhi dari Ladang Laweh melakukan modifikasi pendidikan surau, dengan mendirikan pendidikan dasar bersistem sekolah Arabiyah School.[28] Ia meminta Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (juga dipanggil Inyiak Canduang, 1871-1970) membuka sekolah pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga Syekh Sulaiman mendirikan Madrasah Tarbiyah untuk menampung lulusan Arabiyah School.[28] Syekh Sulaiman juga mengajak Syekh Abdul Wahid dari Tabek Gadang, Syekh Muhammad Jamil Jaho dari PadangePanjang, dan Syekh Arifin Al-Arsyadi dari Batuhampar untuk mengembangkan pendidikan bersistem sekolah.[28] Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1930) kemudian menjadi organisasi wadah dalam mengembangkan pendidikan di kalangan mereka.[28]
Keprihatinan atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi setelah kemerdekaan Indonesia dan di Sumatera Barat pada khususnya, membuat ketegangan antara kedua kelompok ulama tersebut kemudian memudar.[31] Kedua kelompok kemudian bertemu tanggal 10 Disember 1950, disusul dengan persidangan besar mubaligh dan alim ulama pada 21-23 April 1951.[31] Persidangan ini dihadiri wakil-wakil ulama dari hampir semua daerah di Sumatera Barat, serta sedikit dari Riau dan Jambi, yang amnya adalah ulama yang berasal daripada atau pernah belajar di Sumatera Barat.[31] Diputuskanlah misi bersama untuk mencerdaskan kehidupan para pemuda melalui pendidikan Islami, sehingga mereka bersatu dan mendirikan suatu sekolah tinggi Perguruan Tinggi Islam Sumatera Tengah.[31] Para pemuka kedua kelompok, seperti Ibrahim Musa Parabek, Sulaiman Ar-Rasuli, Mansyur Daud Dt. Palimo Kayo, Darwis Dt. Batu Besar, Nazaruddin Thaher, Saaduddin Jambek, dan A. Malik Sidik kemudian bersama-sama terlibat dalam kepengurusannya.[31]

Masa pergerakan sehingga kemerdekaan

Menantu dan anak Haji Rasul, yaitu AR Sutan Mansur (1895–1985) dan Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka, 1908-1981), kemudian juga menjadi ulama terkenal. AR Sutan Mansur adalah seorang ulama yang pernah memimpin Muhammadiyah.[32] Sementara itu Hamka selain menjadi pemimpin Muhammadiyah (1953-1971) juga dikenal sebagai ulama antarabangsa serta juga seorang sastrawan. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Kebangsaan Indonesia oleh Kerajaan Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.[30]
Mohammad Natsir (1908-1993) adalah seorang ulama sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia kelahiran Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok.[33] Ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia, Ketua Dewan Masjid se-Dunia serta pemimpin parti politik Masyumi, serta pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia.[33] Natsir dianugerahi gelar Pahlawan Kebangsaan Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, meskipun sebelumnya pernah bergabung dengan PRRI tahun 1958 untuk menentang Demokrasi Terpimpin di masa Order Lama, dan sebagai pembangkang penanda-tangan Petisi 50 di masa Orde Baru.[33][34][35]

Ulama dan pemfikir kontemporari

Syekh Yasin Al-Fadani (1915-1990) adalah salah seorang ulama keturunan Minangkabau yang lahir di Mekkah, Arab Saudi. Semasa hidupnya ia aktif memberi kuliah di Masjidil Haram, serta ia merupakan penulis buku Islam yang produktif. Bukunya banyak dibaca para ulama dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam di Arab Saudi maupun berbagai pondok pesantren di Asia Tenggara. Syekh Yasin adalah seorang ahli sanad hadis, ilmu falak, serta pendiri Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, Mekkah. Karyanya yang paling terkenal, Al-Fawaid al-Janiyyah, menjadi materi dalam mata kuliah ushul fiqih di Fakulti Syariah Universiti al-Azhar Kaherah.
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif adalah ulama abad ke-21 kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung, yang pernah memimpin Muhammadiyah. Ia juga dipercaya menjabat Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), serta pernah dianugerahi Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina.[36] Buya Syafii Maarif menempuh pendidikannya di Universiti Cokroaminoto Surakarta, IKIP Yogyakarta, Universiti Kebangsaan Ohio, serta Universiti Chicago.

Isi kandungan
 [sorokkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar