Jumat, 24 Januari 2014

Derita Minoritas Thailand Selatan
Oleh: Robby H. Abror, Dosen Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Insiden penyerangan brutal dengan senapan serbu otomatis yang menewaskan 11 orang dan melukai 19 jamaah Sholat Isya’ di Masjid Al-Pukon, Distrik Joh AiRong, Narathiwat, pada 8 Juni 2009 lalu tak pelak memperpanjang derita warga Muslim di Thailand Selatan. Pembantaian itu berlangsung saat Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejajiva sedang membahas upaya penyelesaian kekerasan yang terus berlangsung di Thailand Selatan dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
Opini yang selama ini dibangun oleh pemerintah Thailand adalah dengan menarik benang merah pemicu konflik itu yang menurut mereka disebabkan lantaran warga mayoritas Muslim di empat provinsi, yakni Narathiwat, Songkhla, Yala, dan Pattani, berniat melepaskan diri dari Thailand. Sedangkan bagi warga Muslim sendiri, akar masalahnya sebenarnya terletak pada tindakan sewenang-wenang aparat keamanan Thailand yang seringkali menebarkan teror kepada warga Muslim dan sikap pemerintah Thailand sendiri yang tidak proaktif dan tidak serius menuntaskan masalah ini.
Penderitaan yang dialami oleh warga Muslim di Thailand Selatan sebenarnya telah berlangsung selama bertahun-tahun. Warga minoritas Muslim tidak bisa hidup tenang karena berada di bawah bayang-bayang kecemasan dan drama kehidupan yang mencekam. Setiap hari mereka selalu dihantui oleh teror dan kekerasan fisik dari tentara Thailand. Mereka merasa asing di negeri sendiri. Karenanya, mereka memimpikan dapat hidup bebas dan menjalankan ibadah menurut agama mereka (Islam) dengan tenang. Sayangnya, mimpi itu masih terkubur sangat dalam. Thailand Selatan bagaikan penjara terbuka dengan wajah seram yang sengaja dibangun oleh pemerintah Thailand. Setiap saat tentara Thailand dapat seenaknya menculik, menyiksa, dan menembak warga Muslim kapanpun mereka mau.
Dehistorisasi Kemelayuan
Thailand bukan hanya Bangkok yang terkenal karena keindahan kotanya dan tempat-tempat wisatanya. Warga Muslim di Narathiwat, Songkhla, Yala, dan Pattani, adalah bagian dari Thailand juga, tetapi mereka tidak diperlakukan sebagaimana warga Bangkok. Thailand Selatan sudah layak disebut sebagai ladang pembantaian. Terlalu banyak korban tewas tidak berdosa. Selama ini mereka hidup dalam kegamangan, lelah mencari keadilan serta merindukan nilai-nilai kebebasan sebagai manusia.
Thailand Selatan tak pernah sepi dari gambaran tentang kekerasan. Wilayah itu dihuni oleh mayoritas Muslim yang berbahasa, dan sebenarnya juga berbudaya Melayu, sebagaimana Indonesia dan Malaysia. Tetapi mereka dipaksa oleh pemerintah Thailand untuk menghilangkan jejak sejarah dan menghapuskan “cita rasa” kemelayuan Mereka. Warga Muslim di sana diharamkan untuk menyimpan buku-buku sejarah Pattani. Kesadaran historis mereka dilenyapkan oleh tangan besi pemerintah dan militer Thailand yang sangat khawatir kalau warga Muslim ini sadar bahwa mereka adalah orang-orang Melayu, dan bukan orang Thailand.
Mereka dilarang keras berbicara dalam bahasa Melayu. Semua hal harus dithailandkan: bahasa sehari-hari, bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dan nama-nama mereka. Haram hukumnya memakai bahasa Melayu. Semuanya harus menggunakan bahasa Siam (Budha), bahasa Kerajaan Thailand.
Selain masalah bahasa dan sejarah, mereka juga dikondisikan dalam keadaan yang selalu mencekam. Fenomena sehari-hari ini setidaknya dapat dilihat di setiap sudut jalan yang ditempatkan beberapa orang berseragam militer lengkap dengan senjata otomatisnya. Warga Muslim sendiri sebenarnya merasa sangat heran dengan keberadaan mereka. Para tentara itu bukannya menjaga agar warga Muslim dapat hidup tenang dan damai, tetapi sebaliknya mereka bahkan memata-matai dan menakut-nakuti umat Islam.
Beberapa teman dari Thailand Selatan yang sedang belajar di Yogyakarta mengaku kalau keluarga mereka seringkali mendapat kiriman selebaran gelap di rumah-rumah mereka yang berisi himbauan keras dari tentara Thailand yang bunyinya: “Besok, warga dilarang keluar rumah!” Mereka tidak diberitahu apa alasan di balik larangan itu, yang jelas setiap saat mereka harus menaati sebuah perintah. Titik.
Selain itu, ada juga larangan menggelikan yang sehari-harinya dapat disaksikan di sana, seperti perintah untuk membuka tempat duduk (saddle) motor pada saat parkir. Bagi mereka, itu hal yang lumayan lucu tetapi sangat menyebalkan. Gerak-gerik umat Islam selalu dicurigai termasuk motor mereka.
Kekerasan Siam
Wajah kebiadaban di Thailand Selatan adalah bentuk arogansi dan kesewenang-wenangan pemerintah dan tentara Thailand. Aksi pembunuhan terhadap Muslim di Thailand Selatan terus berlangsung. Setidaknya yang terbesar terjadi pada April 2004 dimana lebih dari 100 pemuda Muslim tewas diserang di dalam Masjid Krue See. Kemudian pada Oktober 2004, sedikitnya 200 Muslim tewas dalam pembantaian oleh Militer Thai di Tak Bai.
Sebenarnya kalau mau dirunut, kekejaman Siam (Budha) terhadap Muslim Pattani sudah berlangsung lama, yaitu sejak 200 tahun lalu dimana Kerajaan Budha (Siam) telah beberapa kali berusaha menaklukkan dan menghabisi Kerajaan-kerajaan Islam-Melayu. Sejak saat itulah Siam dianggap sebagai kekuataan yang zalim dan musuh abadi bagi umat Islam.
Sampai saat ini, dunia seolah-olah bungkam dan diam seribu bahasa atas masalah pelanggaran HAM ini. Suara-suara mereka berhenti di forum-forum dialog antaragama dan perundingan antarnegara yang tidak akan dapat mengubah apapun. Karenanya, umat Islam di Thailand Selatan terus melakukan perlawanan seadanya demi membela saudara-saudara mereka sesama Muslim yang dianiaya dan dibunuh dengan kejam. Mereka pernah membuat kelompok-kelompok perlawanan seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), New Pattani Liberation Organization (NPLO), Mujahideen Islam Pattani, dan Barisan Revolusi Nasional.
Sebenarnya harapan mereka sudah ada di depan mata tatkala PM Thaksin Sinawatra digulingkan oleh Kepala Angkatan Darat Kerajaan Thailand dan Kepala Dewan Keamanan Nasional, Jenderal Sonthi Boonyaratglin pada 19 September 2006 lewat kudeta militer tak berdarah. Selama dua minggu Jend. Sonthi bertindak sebagai perdana menteri dengan dukungan Raja Bhumibol Adulyadej yang sangat dihormati rakyat Thailand.
Jenderal Sonthi adalah Muslim pertama yang menduduki jabatan strategis itu yang selama ini dipegang orang-orang Budha. Ia bahkan pernah berjanji menyelesaikan masalah Thailand Selatan dengan pendekatan yang lebih efektif dan manusiawi. Sayangnya, harapan itu tidak pernah terwujud, karena tentaranya mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak mengetahui siapa para pemberontak di Thailand Selatan. Peningkatan pemberontakan yang drastis di bawah pimpinannya di Angkatan Darat mengundang banyak kritik dari publik.
Penderitaan yang dialami oleh umat Islam di Thailand Selatan tidak akan pernah berakhir tanpa ada kemauan yang tulus dari pihak pemerintah Thailand sendiri untuk menyelesaikannya. Ini adalah fakta tentang “dosa besar” Thailand yang telah menyimpan rapat-rapat tragedi kemanusiaan di negerinya sendiri. Persoalan ini tidak pernah menjadi bahan pembicaraan serius bagi masyarakat internasional untuk dijadikan agenda menekan pemerintah Thailand dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dunia harus bersikap tegas guna mencari solusi untuk menghentikan despotisme militer Thailand yang pongah. Kebiadaban militer Thailand terhadap warga Muslim Thailand Selatan adalah bukti bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM berat. Pemerintah Thailand harus bertanggung jawab atas masalah ini dan ikut serta dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya demi menciptakan perdamaian, bukan malah menebar teror dan menjadikan Thailand Selatan wajah horor bagi penduduknya dan para pendatang. Jika pembantaian ini dibiarkan dan dianggap hal biasa, berarti jelas sudah bahwa tindakan genosida atau pemusnahan massal terhadap umat Islam benar-benar telah terjadi di Thailand Selatan. Masihkan dunia internasional membisu atas tragedi ini?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar