Dalam pengelolaannya, pulau – pulau kecil diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007, yang selanjutnya dijelaskan juga dalam turunan UU tersebut yaitu PP RI No. 62 Tahun 2010 Tentang Pemanfaatan Pulau – Pulau Kecil Terluar. Pada dasarnya UU yang diciptakan terkait pengelolaan pulau – pulau kecil adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia[2], namun pada kenyataannya terdapat beberapa ketimpangan dari isi UU No. 27 Tahun 2007 dengan tujuan diciptakannya regulasi tersebut. Hal ini terutama mengenai adanya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dimana pengaturan mengenai HP3 dianggap berpotensi mengancam kehidupan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta melanggar hak masyarakat adat terkait dengan hak ulayat.
HP3 ini dapat berlaku selama 20 tahun dan dapat diperpanjang sampai akumulasi 60 tahun, dimana HP3 diberikan kepada pihak-pihak dalam bentuk sertifikat HP3, yaitu Orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, serta Masyarakat adat. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah konstitusi yaitu pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. HP3 secara otomatis mengubah rezim pengelolaan laut di Indonesia, yaitu perubahan dari akses terbuka dan kepemilikan serta pemanfaatan bersama (common property right) menjadi private property right yang eksklusif, yang pada akhirnya menyebabkan adanya kemungkinan terburuk mengenai pengelolaan pulau – pulau kecil di Indonesia yaitu terjadinya penjualan pulau – pulau kecil dengan kedok pengelolaan.
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah juga menjadi masalah baru karena sering disalahartikan oleh para pemegang kebijakan[3]. Gairah otonomi daerah yang begitu menggebu seakan melahirkan kerajaan-kerajaan kecil dalam wilayah NKRI, yang dampaknya adalah pemerintah daerah seolah memiliki kewenangan yang tiada batas, mereka memiliki kewenangan mengatur dan mengelola daerahnya bak seorang presiden. Berbagai aturan daerah dilahirkan meskipun sedikit berbeda dengan aturan dan perundang-undangan RI, masing-masing berlomba mengatur daerahnya sesuai dengan keinginan dan ambisi kedaerahannya.
Gejala memperkaya daerah melalui kewenangan otonomi semakin nampak, ketika beberapa pulau kecil mulai dijajakan kepada siapapun untuk mengeruk rupiah sebanyak-banyaknya. Keuntungan suatu daerah dari hasil penjualan pulau tersebut tidak akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang berada di daerah otonom. Kiranya hal ini menjadi gambaran nyata ketidakmampuan perencanaan pembangunan daerah dan egoisme daerah otonom yang lebih mengedepankan peningkatan pendapatan daerah meskipun harus menjual aset bangsa kepada pihak lain.
Adapun Pulau Gili Nanggu memiliki luas 4,99 hektar, ditawarkan dengan harga sekitar Rp 9,9 miliar. Pulau itu telah dilengkapi sejumlah fasilitas seperti 10 unit cottage, 7 bungalo, 1 restoran, kamar, dan area pengembangbiakan kura – kura. Kasus yang terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun 2007 melalui situs www.karangasemproperty.com (sudah tidak aktif), Pulau Panjang di Sumbawa, NTB, seluas 33 hektare juga ditawarkan kepada pembeli[5]. Kemudian, pada 2009, Pulau Siloinak, Makaroni, dan Kandui di Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat, di pajang di laman www.privatesislandonline.
Seandainya kebijakan pengelolaan pulau – pulau kecil dengan adanya HP3 dan otonomi daerah dikembalikan pada konsep negara kesatuan yang dibangun dengan perencanaan pembangunan wilayah yang memadai, maka tentu gejala penjualan aset bangsa tidak akan pernah terjadi, sebab konsep negara kesatuan lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, maka pemerataan pembangunan senantiasa dicapai dalam kerangka tanggungjawab negara kesatuan.
Solusi yang baik terkait pengelolaan pulau–pulau kecil agar berkelanjutan adalah dengan :
Melakukan kajian ulang mengenai kebijakan pengelolaan pulau – pulau kecil dengan HP3 dan otonomi daerah, paling tidak terdapat batasan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola aset bangsa, khususnya kebijakan perdagangan internasional, kerjasama investasi asing khususnya penanaman modal asing yang membiarkan kepemilikan aset/sumberdaya alam kepada pihak asing.
Memprioritaskan perencanaan pembangunan pulau – pulau kecil di seluruh Indonesia, dimana prioritas diarahkan kepada perencanaan pembangunan pertanian/perikanan untuk komoditas tertentu sesuai daya dukung pulau, perencanaan pembangunan agrowisata pulau, serta pengembangan wisata bahari yang dikelola oleh pengusaha dalam negeri. Hal ini dapat menjadi solusi untuk memperkecil kecemasan alih fungsi lahan pertanian/pertanian menjadi lahan industri di pulau – pulau besar, sehingga pulau kecil menjadi daerah pemasok pangan untuk kepentingan konsumsi dalam negeri.
Memberdayakan perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan penelitian di pulau – pulau kecil di seluruh Indonesia guna mewujudkan rencana pembangunan pulau – pulau kecil menjadi pemasok pangan nasional.
[1] UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
[2] PP RI No. 62 Tahun 2010 Tentang Pemanfaatan Pulau – Pulau Kecil Terluar
[3] UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
[4] http://alamendah.wordpress.com/2012/09/06/pulau-gambar-dan-gili-nanggu-dijual-asing/
[5] http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/nusatenggara/2008/03/13/brk,20080313-119161,id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar