Jumat, 07 Februari 2014

Tan Malaka, Pewaris Kepresidenan Kedua RI

A. Misteri Pada Malam Takbiran
Dokter pribadi Bung Karno – Dr. R. Soeharto
Dari seorang penutur yang terpercaya, Dr. R. Soeharto yang merupakan dokter pribadi Bung Karno, dikisahkan sebuah sejarah yang tak terungkap selama puluhan tahun kekuasaan Orde Baru. Awal September 1945, persis pada malam takbiran, di rumah Dr. R. Soeharto, Jalan Kramat Raya 128, Jakarta Pusat, cerita itu bermula. Dilakukan sebuah rapat gelap antara Bung Karno dengan seorang misterius bernama Abdul Rajak, yang berlakangan diketahui merupakan nama samaran Tan Malaka.
Tan Malaka
Dalam rapat tersebut, Tan Malaka mengusulkan dirinya menjadi pengganti tunggal pucuk kepemimpinan Republik Indonesisa (RI) apabila dalam suatu kondisi Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap atau dibunuh oleh penjajah.
Rapat kedua dilakukan di rumah Mr. Ahmad Soebardjo pada Oktober 1945. Rapat tersebut masih mengusung agenda yang sama mengenai pewaris tahta RI jika Bung Karno-Hatta ditangkap atau dibunuh. Namun, ada penambahan nama yang diusulkan. Hatta (yang memang tidak begitu baik hubungannya dengan Tan Malaka) mengusulkan Sjahrir dan Wongsonegoro. Sementara, Mr. Ahmad Soebardjo mengusulkan Iwa Sumantri. Jadi, urutan pertama tetap Tan Malaka, diikuti dengan Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Sumantri.
Mr. Ahmad Soebardjo
Ini menjadi catatan sejarah yang sempat ‘dihilangkan’. Sebab, inilah sejarah politik yang sah mengenai warisan kepemimpinan RI oleh Bung Karno dan Hatta. Dengan adanya kesepakatan tersebut, sebenarnya Tan Malaka-lah yang berhak menjadi Presiden RI kedua jika terjadi apa-apa dengan dwitunggal.
“Jika saya tiada berdaya lagi, saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka..,” ujar Soekarno saat itu.

Dwitunggal – Soekarno dan Hatta
Pada tahun 1948, dwitunggal (Soekarno-Hatta) ditangkap. Terjadi kekosongan kepemimpinan (referensi lain menyebutkan bahwa sebenarnya tidak terjadi kekosongan karena telah terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat).
Tan Malaka
Menurut Tan Malaka, dwitunggal sudah tidak bisa memimpin revolusi sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin revolusi untuk melaksanakan testamen (suatu pernyataan dari orang yang masih hidup yang harus dilaksanakan pada waktu ia mati atau menghilang) politik Soekarno. Banyak sejarawan menganggap tindakan Tan Malaka sudah sesuai dan sah. Jika ini benar, maka presiden kedua RI adalah Tan Malaka, bukan Letnan Jenderal Soeharto, sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Akan tetapi, kesimpangsiuran informasi di medan pertempuran pada akhirnya membuat Tan Malaka dipandang sebagai pemberontak yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan memanfaatkan momentum ditangkapnya dwitunggal. Gerakannya dipandang membahayakan revolusi. Perpecahan pun terjadi di tubuh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pimpinan Jenderal Soedirman ketika itu. Meskipun terjadi perdebatan sejarah mengenai dari siapa komando untuk menghabisi Tan Malaka, akhirnya tentara RI menembak mati Tan Malaka di Kediri.
B. Siapa Tan Malaka?
Tan Malaka
Akibat rezim Orde Baru menyembunyikan rahasia sejarah mengenai Tan Malaka, saat ini masyarakat Indonesia tidak mengenal siapa Tan Malaka. Namun, seorang asing berkebangsaan Belanda, Dr. Harry A. Poeze mengungkapkannya ke publik. Baru pada hari-hari terakhir ini, kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita memiliki seorang pewaris kepemimpinan nasional pada masa revolusi dulu.
Dr. Harry A. Poeze
Tan Malaka lebih dulu memperjuangkan revolusi dibandingkan dengan Soekarno-Hatta. Ia pula yang pertama kali memperkenalkan kata Naar de Repoeblik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh sebelum Hatta (1928) yang menulis Vrije (Indonesia Merdeka), dan Soekarno (1933) yang menulis Menuju Indonesia Merdeka. Ia adalah revolusioner sejati, keras, dan tanpa ampun kepada penjajah. Bersama Jenderal Soedirman, ia menolak perundingan. Ini pula penyebab mengapa ia berseberangan paham dengan Hatta-Sjahrir yang memilih jalan lunak kepada Belanda sehingga RI harus menanggung utang-utang negeri Belanda sebagai balasan pengakuan mereka terhadap kemerdekaan RI di Konferensi Meja Bundar (KMB). Kemudian, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada 1963.
Tan Malaka

Antara Tan Malaka dan FPI

"Saya lahir dalam keluarga Islam yg religius. Waktu itu sumbangsih Islam buat bangsa Indonesia boleh dikata masih pagi. Saat itu di antara keluarga saya sudah lahir alim ulama, yg sampai sekarang dianggap keramat! Ibu Bapak saya keduanya taat dan termasuk orang yg takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi".

"Saya saksikan ibu saya dalam sakit bergelut dg malaikat maut membaca Yasin berulang-ulang dan sebagian besar ayat2 al-Qur'an yg beliau hapal ...di luar kepala. Orang kabarkan bapak saya pingsan dalam wudlu ketika hendak pergi sembahyang. Bapak saya pengikut tarekat, sedang saya masih kecil sekali sudah bisa tafsirkan al-Qur'an, dan dijadikan guru muda. Bahasa Arab sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia".

Dua paragraf di atas adalah saduran dari tulisan Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog (Penerbit Widjaja, Djakarta 1951).

Tan Malaka adalah seorang muslim taat dg pengetahuan agama yg sangat dalam. Marxisme digunakannya sebagai alat perjuangan demi membela kaum miskin. Pemikiran dan perjuangannya luar biasa. Kalau FPI melarang diskusi buku tentang Tan Malaka, mungkin seharusnya FPI musti belajar sejarah lagi, seperti Bung karno berkata : Jasmerah, jangan sekali2 melupakan sejarah....


TAN MALAKA, Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dlm Sejarah Indonesia yg Dihargai di Eropa!
11 Januari 2012 pukul 21:13
Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.



Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.

Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.[/SIZE]



Pejuang antikolonialisme

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.

Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.



Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.



Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar