Sabtu, 01 Februari 2014


                                 
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin . Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali .
Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah Belanda.Pada 17 Januari tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta .
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…” (Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: “Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…
Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
“…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus `hijrah’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia . Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta . Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….
…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: `Apakah siasat ini tidak merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, `Saya telah menempatkan orang kita disana`, seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul `Himbauan’, yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…
“…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud `orang kita’ atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?”
Sumber www.nii-crisis-center.com
Berikut ini petikan tanya jawab dengan Pramoedya Ananta Toer (alm.), yang dimuat dalam buku Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah (2001), karya Baskara T. Wardaya, SJ.:
[Tanya]: “Berapa orang pemimpin pemberontakan melawan Soekarno yang kemudian dihukum mati? Selain Soumokil dari RMS dan Kartosuwiryo dari Darul Islam (DI), apa Bung Pram tahu yang lain?”

[Jawab]: “Siapa ya, tidak ingat saya. Kalaupun ada, tak banyak. Tentang Kartosuwiryo itu belum pernah ada yang menyelidiki sampai ke akarnya. Kenapa timbul DI? Dan juga kenapa timbul pemberontakan Madiun, 1948? Keduanya berkaitan. Persoalan intinya adalah karena di bidang militer Siliwangi itu menyerah begitu saja kepada Belanda di Jawa Barat. Kemudian ia masuk ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terus di situ Siliwangi melakukan provokasi sampai terjadi apa yang dikatakan sebagai Pemberontakan 1948.

‘Pemberontakan 1948′ itu sendiri sebetulnya merupakan kabut asap, sebagai nama untuk menutupi penyerahan Jawa Barat kepada Belanda tanpa perang, tanpa upacara. Nah, karena penyerahan Siliwangi itu orang Jawa Barat kehilangan kepercayaan pada TNI, sehingga timbullah DI. Mereka inilah yang justru terus melawan Belanda. Mereka tidak pernah bekerjasama dengan Belanda. Kartosuwiryo itu terus melawan Belanda. Tahun 1930-an saja dia sudah bergerak melawan Belanda.”
[Tanya]: “Apakah Kartosuwiryo itu pemimpin rakyat?”
[Jawab]: “Memang dia lahir di kalangan rakyat dan besar di kalangan rakyat, di Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Tapi saya hanya bisa ngomong begitu saja lho ya, soalnya saya tak punya literatur di tangan. Jadi dasarnya ingatan saja. Saya kan bukan sarjana. Ha…ha…ha…!”
~ o 0 o ~
Sumber:
Baskara T. Wardaya, SJ (ed.). “Penindasan dan Perlawanan: Pramoedya Ananta Toer tentang sejarah politik, kebudayaan, dan delapan ekor ayam.” Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia, 2001. Hal. 21 – 132.
Baca juga:
Supersemar, Kudeta Khas Indonesia
Perang yang Bukan untuk Menang
Menelusuri Perjalanan Jihad S. M. Kartosuwiryo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar