Percakapan Tan Malaka Dan Sudirman
penyajian teks sejarah yang fantastis ini sungguh
menimbulkan TANDA TANYA bagi kalangan ilmuwan politik maupun sejarah di dalam
negeri maupun luar negeri, seperti Herbert Feith, Harold Crouch, Ulf Sundhausen,
Asvi Warman Adam, Kuntowijoyo, dan lain-lain. ada “tiga pertanyaan” (seperti
“tiga pertanyaan” Sir Teabing kepada Prof. Langdon) yang seharusnya diajukan
oleh rakyat Indonesia kepada TNI:
1. siapa sesungguhnya Soedirman?
2. mengapa Soedirman bisa “terpilih” menjadi Penglima
Besar TNI?
3. angkatan bersenjata macam apakah TNI
ini?
mari kita tela’ah jawaban dari masing-masing
perntanyaan itu.
untuk pertanyaan pertama, rasanya cukup dengan membaca
buku Harold Crouch, yang berjudul “Militer dan Politik di Indonesia” kita dapat
menemukan jawabannya, yaitu Soedirman adalah seorang guru pada Sekolah Dasar
Muhammdiyah di Yogyakarta pada masa kolonial Hindia Belanda, lalu menjadi
Shodanco (Sersan Mayor) dalam pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk
oleh Jepang pada masa pendudukan tentara Jepang sepanjang Februari 1942 hingga
Agustus 1945.
kemudian untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga,
mari kita tela’ah kembali proses sejarah kelahiran TKR.
setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, maka
dibentuklah TKR pada 5 Oktober 1945, dengan Soeprijadi (seorang anggota PETA)
yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf TKR. tapi celakanya
Soeprijadi tidak pernah menghadiri pelantikannya , juga tidak pernah hadir untuk
menjalankan tugasnya. terjadi vacum dalam kepemimpinan TKR akibat Soeprijadi
inabsentia. sesungguhnya Soeprijadi telah dihukum mati dan dihilangkan
jenazahnya oleh Kempetai (polisi militer Jepang) sejak pemberontakan PETA di
Blitar.
oleh sebab itulah TKR menyelenggarakan Konferensi
Tentara di Yogyakarta pada 8 November 1945, di mana Soedirman terpilih menjadi
Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal berbintang empat, dan Oerip
Soemohardjo terpilih menjadi Kepala Staf TKR dengan pangkat Letnan Jenderal
berbintang tiga.
di sinilah terjadi tanda tanya yang menjadi pertanyaan
kedua, mengapa Soedirman bisa menjadi Panglima Besar TKR? padahal dia hanyalah
seorang Shodanco alias Sersan Mayor di PETA.
Jenderal Nasution dalam autobiografinya yang berjudul
“Memenuhi Panggilan Tugas” menuliskan pernyataan bahwa Ibrahim Datuk Seri Tan
Malaka, seorang tokoh revolusioner radikal yang termahsyur di dunia, adalah
peletak dasar-dasar pembentukan TNI, serta berperan besar dalam terpilihnya
Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI. Nasution memang tidak
menceritakan secara detail bagaimana dialog yang terjadi antara Tan Malaka
dengan Soedirman, karena Nasution tidak ingin mengkerdilkan sosok Soedirman yang
telah terlanjur dipuja-puja oleh kebanyakan prajurit TNI. sebab Soedirman adalah
“pemuja” Tan Malaka, dan Nasution tidak ingin menyebutkan masalah itu. tapi
kira-kira dialog yang terjadi antara Tan Malaka dengan Soedirman di kota
Purworejo-Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
Tan Malaka: Dirman, saat ini keadaan sedang genting,
sebentar lagi Belanda datang. tapi kevacuman dalam kepemimpinan TKR belum juga
diselesaikan oleh pemerintah. Soekarno-Hatta terlalu lamban menangani masalah
ini. kita tidak bisa tinggal diam.
Soedirman: apa yang dapat saya lakukan?
Tan Malaka: begini Man, saya sudah membuat
setting sebuah Konferensi Tentara di Yogyakarta nanti pada 8 November 1945 ini.
saya dengar desas-desusnya akan dipilih Kolonel Oerip Soemohardjo menjadi
Panglima Besar TKR pada konferensi itu, karena Oerip adalah perwira KNIL
(Koninklijke Nederland Indische Leger/angkatan bersenjata Hindia Belanda) yang
paling senior di antara perwira-perwira KNIL yang pribumi. nah, saya ingin kamu
yang jadi panglima besar, bukan Oerip.
Soedirman: (dengan terkejut) haaaaahhh…? kenapa
saya…? saya inikan cuma seorang Shodanco… seluruh jajaran TKR akan mentertawakan
saya. lagipula saya bukanlah Soeprijadi yang sangat revolusioner itu, hingga
nekat melawan Jepang di masa Jepang masih kuat.
Tan Malaka: hei, tenang saja bung! saya punya
ide cemerlang yang akan membuat anda menjadi orang yang terpandang di jajaran
TKR.
Soedirman: ide apa?
Tan Malaka: kau lihatlah itu, tentara Sekutu
baru saja melucuti dan menawan tentara Jepang di Magelang. saat ini mereka
sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Semarang. nah, begitu mereka tiba
di Ambarawa, kau serang mereka! pasti setidaknya mereka akan terkejut, lalu
membalas.
Soedirman: ah, kau gila Datuk! bisa habis aku
dan pasukanku dilibas Sekutu yang besar itu. yang benar saja kau
Datuk!
Tan Malaka: eh, santai aja bung! Sekutu itu
tidak akan memukul pasukanmu sampai habis. mereka hanya membalas tembakan agar
perjalanan mereka ke Semarang tidak terganggu. lalu sambil menembaki pasukanmu,
mereka tetap bergerak ke arah Semarang, karena bagaimanapun mereka kejar setoran
ke Letnan Jenderal Christison di Batavia. mereka tidak mau terlibat perang
terlalu jauh dengan pasukanmu. nah, sambil mereka bergerak terus ke Semarang,
kau dari arah Magelang terus maju, seolah-olah mereka mundur karena pukulan
pasukanmu. tapi setelah mereka keluar dari Ambarawa, kau jangan usik-usik mereka
lagi, sebab pasukan mereka yang ada di Semarang itu terlalu besar untuk
dikacau-kacaukan seperti itu. dus, paham kau sekarang Man?
Soedirman: (melongo, terperangah, speechless)
ah… iya Datuk…! kenapa tak terpikirkan oleh saya dari tadi…?
Tan Malaka: nah, setelah itu kau akan dipandang
sebagai “Shodanco Soedirman” yang sukses memukul mundur tentara Sekutu dari
Ambarawa! itu artinya para prajurit TKR akan mengelu-elukan anda sebagai orang
yang paling pantas menjadi Panglima Besar TKR…! bahkan sejarah akan mencatat
keberhasilan anda…!
Soedirman: (masih melongo) baiklah Datuk, besok
pagi saya akan segera konsolidasi satu batalyon untuk bergerak ke arah Magelang,
lalu menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa. ah, terima kasih banyak Datuk… errr…
tapi saya masih bingung, kenapa Datuk lebih percaya pada saya ketimbang pada
Oerip?
Tan Malaka: Oerip itu perwira profesional
didikan Eropa Continental. Jepang saja tidak percaya pada dia, apalagi
saya.
Soedirman: oh, saya mengerti sekarang. baiklah,
tapi Datuk harus menjamin, bahwa setelah saya meyerang Sekutu di Ambarawa maka
saya akan terpilih menjadi Panglima Besar TKR.
Tan Malaka: tentu, dengan pangkat Jenderal
berbintang empat.
Soedirman: (terkejut lagi) haaaaahhh… saya jadi
Jenderal berbintang empat…?
Tan Malaka: asal kau tidak takut pada bom atom
saja.
Soedirman: (dengan mata berbinar-binar) biar
dibom atom sekalipun… kami pantang mundur untuk meraih kemenangan…
MERDEKA…!
Tan Malaka: MERDEKA…! (heheheheh)
akhirnya Soedirman dan pasukannya melancarkan serangan
terhadap pasukan Sekutu di Ambarawa, namun tidak terlalu dihiraukan oleh Sekutu.
namun demikian Soedirman mendapat nama harum di seluruh jajaran TKR. para
perwira bekas KNIL sesungguhnya mengerti bahwa aksi Soedirman hanyalah
kamuflase, namun para perwira ex-KNIL itu tak dapat bersuara apa-apa, karena
jumlah mereka jauh sedikit ketimbang bekas-bekas PETA. bahkan Sjahrir, politisi
yang menjadi tumpuan para perwira KNIL itupun tidak berbuat apa-apa, mungkin
karena terlalu sibuk dengan konsolidasi politik di Batavia.
maka terpilihlah Soedirman yang hanya bekas Shodanco
itu menjadi Panglima Besar TKR dalam Konferensi Tentara di Yogyakarta 8 November
1945. bahkan karena sengitnya perdebatan yang terjadi dalam konferensi itu,
sampai-sampai mereka lupa bahwa di Surabaya sedang terjadi pertempuran besar
melawan Inggris sebagai akibat tewasnya seorang Jenderal Inggris yang bernama
Mallaby. pasukan yang berasal dari Jawa Timur di bawah pimpinan Mayor Jenderal
Dr. Moestopo mengundurkan diri dari konferensi untuk bergerak ke arah Surabaya.
namun pasukan yang lainnya masih larut dalam upacara pembagian Divisi dan
pangkat. karena itulah pembentukan Divisi Brawijaya yang membawahi seluruh TKR
di Jawa Timur agak terlambat ketimbang Divisi Siliwangi dan Divisi Diponegoro
yang telah terbentuk pada saat konferensi tentara itu.
dengan ini maka pertanyaan kedua telah terjawab. lalu
bagaimana dengan pertanyaan ketiga? mari kita tela’ah lagi proses sejarah TNI
selanjutnya.
pada tanggal 3 Juni 1947 TKR resmi diubah namanya
menjadi TNI. dan itulah awal mula reorganisasi TNI. setelah pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949, maka dibentuklah APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat). lalu dimasukkanlah TNI sebagai inti dari
APRIS, dan prosesnya di-setting oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai
ex-Letnan Jenderal KNIL plus Letnan Jenderal Tituler TNI, dibantu oleh Kolonel
Nasution sebagai Kolonel TNI plus ex-Letnan Satu KNIL.
Soedirman marah dan kecewa pada Soekarno-Hatta-Sjahrir
karena menandatangani RIS dan APRIS. kemarahan Soedirman diperparah oleh Sultan
Hamid Algadrie (Sultan Pontianak yang menjadi Menteri Federal RIS) yang
mengatakan bahwa APRIS adalah singkatan dari “Angkatan PERUNDINGAN Republik
Indonesia Serikat”. tambah parahlah kemarahan Soedirman. hingga kemudian
Soedirman melakukan “harakiri bathin”, mengutip tulisan Nasution dalam
autobiografinya.
setelah itu Soedirman wafat pada 29 Januari 1950. maka
kepemimpinan TNI beralih pada Nasution yang ex-KNIL. seharusnya beralih ke
Oerip, tapi Oerip telah wafat pada bulan Maret 1948, juga akibat harakiri
bathin, kata Nasution. segera Nasution melakukan rasionalisasi pada TNI, yang
berakibat para perwira ex-PETA banyak yang tergeser dari posisinya. dan
bergejolaklah konflik besar dalam tubuh TNI yang berpuncak pada “Peristiwa 17
Oktober 1952″, di mana Istana Merdeka dikelilingi oleh moncong meriam dan
pasukan dari Markas Besar Angkatan Darat.
inilah contoh-contoh dari masalah-masalah yang sampai
hari ini masih dipendam oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun TNI. tidak
pernah ada “good will” dari mereka untuk meluruskan sejarah angkatan
bersenjatanya sendiri, bahkan juga tidak berpikir untuk meluruskan sejarah
negerinya sendiri.
maka hingga saat inipun TNI masih belum menjadi tentara
profesional. TNI masih merupakan angkatan bersenjata yang carut-marut, belum
solid, belum profesional. akhirnya setelah pertanyaan ketiga terjawab (walaupun
belum memuaskan), justru kemudian menimbulkan “pertanyaan keempat”, yaitu:
bagaimana nantinya TNI akan menghadapi Perang Dunia III yang akan terjadi akibat
krisis ekonomi global?
Sumber :
http://netsains.net/2012/05/tan-malaka-dan-sudirman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar