Jumat, 07 Februari 2014


FREEFORT MENGERUK KEKAYAAN BANGSA INDONESIA

Sahabat semua, Gambaran ini adalah gambaran nyata aktivitas pekerjaan di Tembagapura.

Ya, PT Freeport Indonesia.
Tahukah berapa penghasilan harian PT Freeport hasilkan emas ini?
minimal 200 kg.

Artinya:
200.000 gram x Rp 450.000,- 
= Rp 90.000.000.000,00

Sungguh, Negeri yang seharusnya memberikan kesejahteraan...
Justru yang sejahtera adalah kaum kapitalisme khususnya Amerika.

Ini baru satu lokasi, dimana ribuan lokasi di negeri ini... Kita bukan untung tetapi buntung.

Mari terapkan Syariat Islam secara sempurna,
Sebab Indonesia Milik Allah
 



 by Muhammad Alie
 
 
Di akhir masa jabatannya Suharto, toh rakyat pula yang harus membayar kemajuan ekonomi semu itu. Perekonomian kita yang seolah-olah tampak kokoh dan kuat, ternyata rapuh hanya diguncang oleh anjloknya nilai tukar sejak pertengahan tahun 1997. Krisis moneter yang melanda Asia, benar-benar meluluhlantakkan perekonomian Indonesia yang dibangun atas hutang dalam mata uang asing. Di tengah kepanikan, Soeharto kemudian justru menyerah kepada IMF, dewa penyelamat yang membawa segebok uang sambil memaksakan setumpuk regulasi keuangan dan perbankan yang harus dipatuhi Indonesia. Ini bentuk penjajahan ekonomi abad modern. Tapi Soeharto sudah tak berdaya, sembari Direktur IMF Michael Chamdesus melipat kedua tangannya dengan senyum meremehkan, Soeharto terpaksa meneken perjanjian tunduk pada IMF.
Tapi ada lagi warisan lain Soeharto, yang kini jadi bara api yang memanggang rakyat Papua. Apalagi kalo bukan kontrak karya Freeport. Kalo menengok kembali sejarah masuknya PT. Freeport Mc. Moran menjadi penguasa gunung emas terbesar di dunia, kita bisa temui banyak fakta yang semuanya bermula dari era Pemerintahan Soeharto. Ketika pada tahun 1963 terjadi Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalihkannya ke Indonesia, rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijakan Presiden Soekarno. Lalu seiring dengan peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966, terbentuklah pemerintahan baru yang mendorong investasi sektor swasta. Saat inilah Freeport diundang ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg. Tahun berikutnya – 1967, hanya selang setahun Soeharto berkuasa – ditandatanganilah Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PT. Freeport Indonesia sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi. Tambang emas dan tembaga kita TERGADAI!!! Inilah bayaran paling mahal yang harus ditebus Soeharto kepada Amerika, atas jasanya “membantu” memberangus partai komunis dan gerakannya, yang telah membawa Soeharto ke puncak kursi kekuasaan.
Pada tahun 1985 tambahan cadangan tembaga bawah tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT. Selanjutnya, pada 1987 setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik. Dan puncaknya pada tahun 1988 dengan ditemukannnya cadangan Grasberg, melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Pada tahun 1989 perluasan hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga 52.000 selesai. Pemerintah Indonesia – dibawah kepemimpinan Soeharto – mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000 hektar.
Anehnya – atau bahkan gilanya – di saat kajian atas hasil tambang emas dan tembaga Freeport yang begitu menggiurkan prospeknya, Soeharto bukannya mencoba merenegosiasi kontrak karya agar bagian yang diperoleh Indonesia makin besar, dan bahkan seharusnya kontrak karya yang akan berakhir pada 1997 tidak diperpanjang lagi, agar Indonesia bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya sesuai amanat UUD 1945. Hingga akhir tahun 1991, total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik. Tapi yang dilakukan Soeharto justru sebaliknya : pada 1991 dilakukan penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama Pemerintah Indonesia. Praktis PT. Freeport berkuasa atas gunus emas kita sampai 2041. Lagi-lagi kekayaan bumi Papua digadaikan! Kali ini lebih panjang masanya.
 
Kontrak karya pertama yang dilakukan pada tahun 1967, mengacu pada UU Penanaman Modal Asing dan bukan berdasarkan UU Pertambangan. Hal itulah yang menjadikan porsi bagi hasil untuk pemerintah tidak seberapa. Sialnya, kontrak karya yang cacat itu, justru dilanjutkan lagi pada 1991. Ekonom Kwik Kian Gie pernah mempertanyakan besarnya setoran bagi hasil untuk pemerintah RI dari aktivitas pertambangan Freeport. Kwik  mengacu pada pola bagi hasil 85%:15% yang biasanya diterapkan pada industri migas. Sedangkan dari penambangan Freeport kita hanya mendapat 3% untuk emas dan 5% untuk tembaga. Dan kita rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua, cuma bisa gigit jari, melongo, saat beratus-ratus truk trailer mengangkut emas keluar dari tanah asalanya.
 
Semua kemewahan dan privelege atas hak pengelolaan tambang yang diperoleh PT. Freeport, tentu bukan tanpa imbalan. Di situs Wikipedia, ditulis “Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffettseorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini – dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
 
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait. Tidak ada investigasi resmi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Pada sejumlah kasus, kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard – yang pernah bekerja untuk Freeport – dan Abigail Abrash – seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat memperkirakan sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun19751997 di daerah tambang dan sekitarnya. Semua itu terjadi di era Pemerintahan Soeharto, dan dampaknya sampai sekarang tak mampu ditanggulangi oleh Presiden-Presiden pasca Soeharto. Sebab masalah yang ditinggalkan memang tidak mudah. Tanah Papu sudah terlanjur tergadai, lengkap dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Rakyat Papua sudah lama tertindas dan dijajah di tanah kelahiran mereka sendiri. Mereka mengalami pemiskinan dan pembodohan – karena dibiarkan begitu saja tanpa pembangunan yang memadai – sehingga mereka menjadi buruh kasar di rumah sendiri.
 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar