Minggu, 09 Februari 2014

 Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta

Dan pada tahun2005
memberikan perkuliahantentang militan Islam, yang mana ia sebutkan:Kita jangan sampai terpedaya denganperkembangan-perkembangan terakhir ini.Nyatanya, radikalisme di antara orang Islam diIndonesia bukanlah hal yang baru. WalaupunIslam di Asia Tenggara secara umumdipandang sebagai Islam yang damai danmoderat, akan tetapi sejarah Islam di kawasanini menunjukkan bahwa radikalisme di antaraorang Islam, sebagaimana yang akan dibahassegera, telah hidup selama paling tidak duaabad, ketika gerakan Padri yang dianggapgerakan Wahabi di Sumatera Barat pada abadke 18 dan ke 19 memaksa orang Islam yanglainnya di daerah itu untuk tunduk kepadapemahaman agama Islam mereka. Gerakankekerasan ini bertujuan menyebarkan Islamyang murni seperti yang dipraktikan oleh NabiMuhammad dan rekannya. Akan tetapi,gerakan Padri gagal mendapat dukungan darimayoritas orang Islam dan hasilnya gerakan inimerupakan satu-satunya hal ikhwal dariradikalisme Muslim di seluruh Asia Tenggara

Setelah peristiwa 11 September, kaum Muslim dapatdimaafkan karena memperhatikan uang kertas tersebut, mendengarkanperkataan dari para sejarahwan Indonesiaini, dan berfikir apakahnegara Indonesia telah warnai oleh pengaruh teror berbau agama.Gambar Tuanku Imam Bondjol cukup memuakkan bagi para merekayang melihatnya yang terbiasa dengan gambar boneka dan orkestragong yang menggema seperti halnya beberapa kelompok Islam masakini seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam.


Tapi bagi orang Indonesia dan kebanyakan sejarahwan

Indonesia, kemunculan gambar Tuanku Imam Bondjol pada uangkertas 5000 rupiah tidak mengkhawatirkan dan mengagetkan. Di negeriBelanda pada tahun 1928, Muhammad Hatta memberikan pidatopolemiknya dalam bahasa Belanda yang berjudul “Free Indonesia”.Dalam pidatonya tersebut, Ia mencela Penjajah Belanda karena telahmemaksa kaum jajahannya untuk mempelajari pahlawan-pahlawanlegenda seperti William Tell, Giusepe Mazzini, William of Orange, danbeberapa yang lainnya sambil meremehkan perjuangan-perjuanganorang Indonesia dalam melawan pendudukan orang Eropa: “Makakebanyakan kaum muda Indonesia menyamai tuan-tuannya danmemanggilnya pahlawan, seperti Diponegoro, Toeankoe Imam, TengkuOemar, dan banyak lainnya, ppemberontak, penjarah, penjahat, danlainnya’ (1928, 11). Setelah Hatta, sejak tahun 1945, Sukarno telahmerujuk Tuanku Imam Bondjol sebagai yang pejuang pertama dari tigaserangkai pahlawan yang berperang melawan penjajahan Belanda:Tuanku Imam Bondjol dari Minangkabau di Sumatera Barat,
Dipon
egoro dari Jawa T
engah dan T
euku Oemar dari Aceh (Soekar
no1950). Imam Bondjol kini merupakan sebuah nama jalan yang lazim dibeberapa kota di Indonesia. Universitas Islam Negeri di Sumatera Baratdinamai Imam Bondjol. Dan pada bulan November 1973, Tuanku ImamBondjol secara resmi dijadikan sebagai pahlawan nasional, satu darisedikit yang hidup pada masa ketika konsep nasionalisme Indonesiamuncul.Setelah lengsernya Suharto, ahli sejarah di Indonesia telahmengalihkan perhatiannya pada tempat dari para pahlawan nasionaldan penciptaan sejarah Indonesia. Kajian-kajian ini bergantung kepadamasa-masa kekerasan di Indonesia dan trauma – pembunuhan tahun1965 dan 1966, kerusuhan tahun 1999. Para cendekiawan juga telahmenganggap peran pahlawan nasional dalam konteks kedaerahan
mereka. Tuanku Imam Bondjol cukup menarik. Kisahnya telah ditulisoleh penduduk dari sebuah provinsi yang jauh dari pusat pemerintahanpenjajah. Di daerah Minangkabau seringkali berkecamuk kekerasandan berseberangan dengan penjajah sementara masyarakat setempatseringkali menganggap mereka sebagai bagian dari pusatpemerintahan.Saya akan secara singkat meninjau Perang Padri danmenggambarkan masyarakat Minangkabau. Selain sumber-sumber pada catatan kaki, pemahaman saya terhadap Perang Padri pertamadidasarkan atas memoir Tuanku Imam Bondjol sendiri. Keterangantertulis ini, sebagai salah satu sumber terpenting dalam kajianmengenai Indonesia pada abad ke-19, memiliki sejarah yang cukupbermakna. Terjemahan dari memoir ini, yang dibuat tahun 1839 munculpada awalnya sebagai appendix B pada seorang warga negaraBelanda pemaparan terhadap perang tersebut. Pada tahun 1910an,versi bahasa Minangkabau dengan tulisan Arab dari memoir ini beredar luas di Sumatera Barat dan ini digambarkan oleh Ph. Van Ronkel dalam
sebuah artikel pada Indische Gids (1915). Pada tahun 1939, L. Dt. R.Dihoeloe menggunakan memoir ini dan mewancarai kaum tua untukmenerbitkan pertama kalinya ringkasan memoir ini dalam bahasaMelayu. Versi Dihoeloe yang kemudian menjadi sumber kisah tentangTuanku Imam Bondjol pada masa-masa berikutnya. Pada tahun 1979,ahli sejarah Sjafrir Aboe Nain membenahi dan menulis kembali versiasli dari memoir tersebut, dan menggunakannya dalam tulisannya yangberjudul “Intellectual History of Islam in Minangkabau”, 1784-1832.Transliterasi Sjafrir dari tulisan Naskah Tuanku Imam Bondjol, yangsaat itu dianggap sebagai sebuah komponen tambo (sejarahtradisional) dari Naali Sutan Caniago, anak Tuanku Imam Bondjol,tersedia hanya dalam 280 lembar kopinya saja. Hanya pada tahun2004 transliterasi tersebut secara resmi diterbitkan oleh Pusat StudiIslam dan Minangkabau di Padang.Sumber sejarah Minangkabau penting lainnya bagi sejarahPerang Padri adalah otobiograpi yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin,yang ditulis atas permintaan pemerintahan kolonial pada awal tahun1820. Jalaludin kemudian diancam oleh kaum Padri dan tulisannyamemberikan sebuah sejarah reformasi Islam pada awal abad kedelapan belas juga sebagai kritik terhadap kaum Padri dari gerakankaum reformis. Sejalan dengan ‘klarifikasi’ yang ditulias oleh SyekhJalaludin, memoir Imam Bondjol berlaku sebagai apa yang mungkindianggap otobiography yang pertama dalam Bahasa Melayu. Ini jugamerupakan tulisan yang menampilkan interioritas personal yang jelasserta resonansi emosional yang dikarenakan ditulis secara simultanuntuk pembaca berbahasa Belanda dan untuk generasi mendatangMinangkabau, dari perspektif seorang anak desa, dan bukan seorangpesuruh juga seorang reformis Muslim yang menaruh perhatianterhadap struktur keluarga dan kehidupan sehari-hari.Jumlah tulisan dan buku yang ditulis oleh pemerintah kolonial
Belanda dan prajuritnya memberikan sumber tambahan tentang PerangPadri. Hal in telah disintesiskan dalam monograph Christine Dobbin,yang berjudul Islamic Revitalization in a Changing Peasan Economy:Central Sumatera, 1784-1847 (1983). Penelitian Dobbin memang luar biasa dan bukunya dipuji sebagai kajian yang paling lengkap tentang jihad (Keddie 1994, 472). Perhatian saya terhadap budayaMinangkabau muncul dari kajian saya sendiri tentang interaksi antaraIslam, budaya matrilineal; dan kolonialisme. (Hadler 2008).Tulisan ini akan mengangkat beberapa hal, antara lain:1.Posisi khusus Tuanku Imam Bondjol dalam perang menghasilkansebuah hasil yang luas dimana ia berperan penting dan dimanapara ulama lainnya kurang berperan penting.2.Hasil dan historiography telah dikaitkan dengan usaha-usahanegara untuk mengkontrol Sumatera Barat dan membatasi potensipara reformis Islam dalam perang melawan pemerintahan kolonial,Demokrasi Termpimpin, dan masa Orde Baru. Akan tetapi, hal initidaklah membawa kita ke dalam pengertian yang sembrono akanmilitan Islam dan penindasan. Akan tetapi kekhawatiran negaraakan pemberontakan Islam membawa kembali keinginan untukkedamaian dan konsiliasi. Perang Padri tidaklah terkenal,3.Akan tetapi, sosok Tuanku Imam Bondjol tetap menjadi tokoh yangteguh dalam perlawanan dan otonomi lokal masyarakatMinangkabau. Menjelang akhir karir militernya, Tuanku ImamBondjol menjauhkan dirinya dari aliran Wahabi dan kekerasan antar sesama anggota, kemudian merubah perang saudara menjadiperang melawan agresi Belanda. Hidup Tuanku Imam Bondjol dapat
dibaca sebagai sebuah penolakan protonasion
alis dari perpeca
hanagama demi kepentingan kesatuan anti penjajahan. Dari tahun 1930hingga tahun 1998 (denga jeda dari tahun 1950 sampai tahun
1957), Indonesia mengalami sejumlah rezim represive yangmengawasi dengan ketat wacana politik dan secara efektimengkontrol penulisan sejarah. Tuanku Imam Bondjol muncul padatahun 1930an sebagai sebuah tokoh kunci yang bersejarah dalamfiksi popular Sumatera. Fiksionasisi dari sejarah tidak hanyamendapat pengawasan ketat tersebut tapi juga memancing debatkeras hhingga tahun 1960an, ketika penerbitan dari : “Tuanku Rao:Hambali Islamic Teror in the Batak Lands” (1816-1833) memaksapemikiran ulang kembali akan kisah mengenai Perang Padri dan
kekerasan Tuanku Imam Bondjol.Suku Minangkabau terkonsentrasi di Sumatera Barat danmerupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia serta terkenaldi dunia sebagai suku bangsa dengan masyarakat yang matrilineal.Peggy Sunday (2002) membuat sebuah argumen menarik tentangkebiasaan masyarakat Minangkabau. Kaum elit menggunakan katabahasa Belanda matriarchaat’ dan mengklaim bahwa dalamegalitarianisme gender, masyarakat Minangkabau memang merupakanmasyarakat matrilineal. Tentu saja kontradiksi yang tampak antaraIslam dan matrilinealisme telah terbentuk selama dua ratus sejarahMinangkabau. Masyarakat Minang terus berjuang dalam konflik:warisan Islam, hak anak, dan hukum tempat tinggal semuanya bersifatpatrilineal dan patrilokal, sementara masyarakat Minangkabau terikaterat dengan rumah rumah adat yang besar yang diwariskan darigenerasi wanita ke generasi yang lainnya, yang ditentukan oleh leluhur wanita.Orang Minang yang tinggal di Sumatera Barat memiliki rumahbesar. Rumah tersebut dibagi menjadi tiga area, area yang lebih rendahyang dekat dengan pintu berfungsi sebagai tempat umum untukmenerima tamu; daerah di tengah untuk makanan, yang juga dijadikantempat tidur untuk anak-anak, gadis dan wanita tua serta area dibelakang, yang merupakan beberapa kamar tidur yang disediakanuntuk kamu wanita menerima suaminya. Ketika seorang gadis menikah,ia diberi sebuah kamar baru, kamar terbesar yang jauh dari pintu.Wanita yang lainnya tergeser ke kamar lain. Jika kamar-kamar lainnyasudah terisi, maka wanita yang paling tua terpaksa harus pindah kebagian lain dari rumah yang terletak di ujung. Jika wanita tua itu secaraseksual masih aktif, maka akan dibuatkan kamar baru. Jika tidak, makaia harus bergabung dengan wanita tua dan anak kecil di lantai jikamalam tiba. Jika anak-anak kecil itu mencapai pubertas, maka anak-anak kecil pria harus pindah dari rumah yang berukuran panjang itu dantidur di surau. Ketika mereka tumbuh menjadi remaja pria, makamereka harus merantau dan meninggalkan desa untuk mencaripenghasilan di dunia luas, yang disebut dengan ‘rantau’. Hanya ketikaia telah memperoleh nilai sosial tertentu melalui perdagangan ataupendidikan, maka seorang laki-laki muda diperbolehkan kembali kedesa sebagai calon mempelai pria potensial bagi anak gadis darikeluarga lain. Banyak dari perantau Minangkabau ini tidak kembali dariperjalannya, namun lebih memilih menetap di kota-kota besar diseluruhIndonesia. Mulai dari Borneo, Semenanjung Malay, dan Sulawesi,desa-desa dan pemerintahan lokal mulai mengikuti jejak menganutIslam dan bahkan mengikuti penampilan para pengelana Minangkabauini. Dan meskipun mereka memiliki struktur sosial matrilineal, orangMinangkabau pada umumnya dianggap sebagai salah satu kelompoketnis yang religius (Walapun standard-standard untuk mengukur tingkatreligius dan kemampuan aplikasinya pada unit-unit masyarakatnyadiluar individual sulit untuk ditentukan).Laporan awal abad keenam belas menunjukkan bahwasetidaknya seorang Raja Minangkabau telah menganut Islam (Pires1990, 164), dan seorang berketurunan Portugis yang mendatangipegunungan ini pada tahun 1684 melaporkan para haji di kalanganbangsawan (Dias 1995). Minangkabau hanya mengalami gerakan yangterorganisir dan bersifat institusional untuk beralih pada Islam pada abadketujuh belas ketika sebuah pusat tarekat Sufi (organisasi mistis)dibentuk di pesisir pantai Ulakan (Amrullah 1929; Suryadi 2001, 2004).Azra menyatakan bahwa “para pemercik reformisme(2004, 145)pertama kali terpicu pada akhir tahun 1600 ketika para anggota dari jaringan kerja siswa Ulakan menyaksikan dengan kekecewaan atasterlalu berlebihannya para rekan mereka dalam memperingati kematianpendiri tarekat. Pada abad kedelapan belas, permintaan Amerika danEropa atas kopi, merica, dan kayu manis menciptakan suatu ledakanpada perekonomian pegunungan yang merusak sistem perdagangantradisional dan mendatangkan pengaruh-pengaruh intelektual barumelalui pelabuhan Tiku, yang berjarak dekat dari Ulakan. Desa-desaterpencil dengan tanah yang tandus mengeruk kekayaan denganmenanam tanaman baru yang sangat menguntungkan tersebut,sehingga mengancam pengaruh para petani beras yang menganutpaham tradisional. Banyak para reformis Muslim yang berasal dari desa-desa yang mendadak makmur ini (Dobbin 1977). Pada akhir abadkedelapan belas, reformasi Islam telah membawa tarekatNaksyabandiyah, Syattariyah, dan Qadiriyyah kepada pegunungan, dansekolah Islam yang dikepalai oleh Tuanku nan Tuo menjadi pusat bagipergerakan reformis








Syekh Jalaluddin mengingat cerita-cerita ayahnya mengenaiperiode sebelum perang saudara pada tahun 1780 dan perubahan-perubahan keagamaan yang tengah terjadi di minangkabau (Kratz danAmir 2002). Jalaluddin menggambarkan situasi-situasi keagamaan diMinangkabau pada akhir abad kedelapan belas ketika ayahnyamerupakan seorang reformis Islam dan seorang pendidik. Pada tahun1780, sekolah-sekolah agama yang terpusat menyebar sepanjangdaerah pegunungan. Para reformis berpindah dari sekolah yang beradadibawah pengaruh Sufi lama di Ulakan, berjarak dekat dengan kotapesisir Pariaman, dengan menempuh perjalanan melalui Kamang danRao di daerah pegunungan, dengan singgah sebentar di koto Gadang,dan akhirnya menetap di Batu tebal dimana pada akhirnya merekamendapatkan dukungan yang memadai untuk mempertahankan empatpuluh jemaah yang diperlukan untuk menjalankan shalat Jumat.Merupakan sebuah kesalahan besar dengan menganggap bahwapendidikan agama pada periode pra-Padri, para penduduk Minangkabausebelum dijajah sepenuhnya ditempatkan dan dipusatkan pada rumah-rumah ibadah di pedesaan. Para cendekia agama menyebarkanpengalaman dan koneksi pada pusat-pusat keagamaan di mekah,madinah, dan bahkan Aceh—dunia pembelajaran Islam pada dasarnyabersifat kosmopolitan. Para reformis ini mulai menciptakan serangankedalam pusat kota. Dan pusat-pusat tarekat yang memegang perananpenting, khususnya dengan guru-guru yang berkuasa, telah lamamenarik hati para pengikut.Pemberian perhatian pada kehidupan pribadi dan perilaku sehari-hari merupakan pembicaraan yang umum dan berbeda pada duniaIslam pada akhir abad kedelapan belas (Metcalf 1982). Sepanjang awaltahun 1700, Islam dan ulama terutama menyoroti pemerintahan dankerajaan. Namun, pergerakan-pergerakan baru reformis Islam ini lebihterlibat dengan kehidupan sehari-hari rakyat; fatwa membahas masalah-
masalah kehidupan berkeluarga, pernikahan, dan tata cara yang sesuai agama. Mulai dari Afrika Barat melalui Asia Selatan dan masuk kedalamdunia Melayu, akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilanbelas menghadirkan reformis Muslim lokal dan pergerakan-pergerakanpembangkitan kembali yang memiliki tujuan yang sama dan retorikakeras yang sama (Hardy 1972, 53; Jones 1994, 18-20; Ahmed 1996, 39;Vikor 1999).Namun, meskipun kaum Padri memiliki banyak pembaruan,mereka lebih mendalam menentang kebiasaan adat lokal; hak warismatrilineal Minangkabau dan tempat tinggal setelah menikah harus dipihak wanita yang sangat berlawanan dengan hukum syariah dan tidakmungkin diabaikan. Telah muncul konsekuensi bagi pembicaraan barumengenai kehidupan pribadi ini. Di Indonesia, perhatian pada kehidupankeluarga dan kehidupan sehari-hari pada akhir abad kedelapan belasdan awal abad kesembilan belas menandakan apa yang pada awalabad keduapuluh dikenal sebagai moderen. Pada abad kesembilanbelas, lingkup publi bagi Islam dikembangkan seputar permasalahanbahwa negara penjajah tidak berbagi (walaupun Belanda, dan, padatingkat yang lebih rendah, Inggris memang berupaya mengendalikankehidupan pribadi dari rakyat yang dijajahnya). Para muslim tidakdiperkenankan berpolitik—di Hindia Belanda bagian timur, para hajidilarang bekerja pada pemerintahan sipil kolonial—namun merekabersikap “politis” dalam membahas masalah-masalah sosial. Dari Mekahpada akhir abad kesembilan belas, Shiekh Ahmad Khatib dariMinangkabau berkampanye melawan hak waris matrilineal di daerahnya(Huda 2003). Para muridnya dan pembacanya menjadi inti pergerakanreformis awal abad kedua puluh. Ketika pada tahun 1910, pemerintahkolonial mencoba memperkenalkan politik partisipasi nominal padapribumi, mereka mengharapkan sebuah proses perlindungan diri yangpanjang. Bagi para ulama, pembelajaran perubahan tidak diperlukanuntuk perilaku yang bertentangan dengan agama, dan menjadi mimpi
buruk bagi pemerintah kolonial, mereka jatuh kedalam lingkungan politik yang sepenuhnya dikembangkan oleh para ulama.Terjebak dalam gelombang reformasi Islam pada abad kedelapanbelas, Tuanku nan Tuo, seorang reformis moderat dimana ditangannyakaum Padri di masa mendatang bersatu, mendesak aplikasi hukumIslam yang lebih ketat, kehadiran yang lebih baik pada shalat Jumat,pelarangan judi dan mabuk, dan penghentian perampokan danperbudakan yang tiba dengan perdagangan yang meningkat.Perdagangan ini juga menghasilkan kekayaan baru, dan lebih banyakorang memiliki sarana untuk menjalankan ibadah haji. Hijaz dan Mekahmenjadi penuh dan gempar pada akhir abad kedelapan belas dan awalabad sembilan belas. Dari dekade akhir abad kedelapan belas, paraWahabi terlibat dalam kampanye penaklukan di sana, untuk sementarawaktu menempati Mekah pada tahun 1803 dan merebut kota tersebutdari tahun 1806 sampai 1812. Para pengikut Wahabi menolakinterpretasi tekstual karena inovasi dan permintaan yang bersifat taatpada cara hidup yang mengikuti Al-Quran dan Hadits. Di Hijaz, kaumWahabi membakar buku-buku, menghancurkan kubah, menghancurkanmakam-makam dan situs perjalanan suci, dan menurut seorangcendekia yang kecewa, mereka juga terlibat dalam sebuah “kampanyepembunuhan dan penjarahan di seluruh Arab” (Algar 2002, 20).Suatu waktu setelah pendudukkan Wahabi pada tahun 1803, tigaorang haji dari Minangkabau kembali dari Mekah, dimana, menurutsetiap catatan sejarah, mereka telah dipengaruhi oleh ajaran laskar penakluk itu. Namun, kejadian yang kebetulan bukanlah merupakanbukti, dan tidak dalam satu catatan Minangkabau apapun yangditemukan menyebutkan Wahabisme pada era perang Padri. Meskidemikian, beberapa nasionalis Indonesia berfokus pada penolakan yang jelas dari Tuanku Imam Bondjol atas ajaran Wahabisme ini danmerangkul sebuah visi masyarakat Minangkabau yang melibatkan kaum
elit tradi
sional
. Penul
is lainnya menyat
akan bahwa beliau tidak perna
hterlalu puritan, dengan menunjuk pada buku catatan yang disimpan olehorang-orang Bonjol yang berisi tulisan Tuanku mengenai peramal (Dawisdan marzoeki 1951, 65--75). Sebuah teks yang didapatkan di bentengBonjol dan sekarang disimpan di ruang baca manuskrip perpustakaanUniversitas Leiden menunjukkan ilustrasi rumah tangga NabiMuhammad dan situs-situs suci di Mekah. Ini bukanlah bahan bacaanyang tentunya disetujui ajaran Wahabi. Di Indonesia saat ini, ImamBondjol disamakan dengan seseorang dengan keyakinan religiusmendalam, protonasionalis dan perlawanan anti-kolonial, dan bahkanpatriot Minangkabau. Opini populer ini juga dinyatakan oleh paracendekia seperti E. B. Kielstra (1887) dan B. Schrieke (1920), yangmenambahkan bahwa Tuanku Imam Bondjol, dan bahkan pergerakanPadri secara umum, seharusnya tidak dianggap Wahabi. Kaum Padrimengizinkan para peziarah (yang menjalankan haji) untuk berziarah kemakam, tanpa berupaya untuk menetapkan suatu hierarki padapemerintahan Minagkabau yang terdesentralisasi secara tradisional, danmengizinkan para muslim untuk menghormati kelahiran NabiMuhammad melalui perayaan Maulid (Pada pernyataan terakhir ini,Schrieke merujuk pada Jalaluddin, yang tentunya bukan seorang Padri;lihat Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984, 35-36).Namun, setiap komentator kontemporer dari Belanda dan Inggris,dan setiap partisipan dalam perang, tidak ragu untuk mengindikasikanbahwa pergerakan ini didasari pada ajaran Abdul Wahab. Dalam sebuahsurat tahun 1820 yang ditujukan pada William Marsden, Thomas Rafflesmenyatakan bahwa kaum Padri “nampaknya menyerupai Wahabi daripadang pasir. Mereka telah membuktikan bahwa mereka tidak berbelaskasihan dan tiran; namun peraturan mereka nampaknya diperhitungkanuntuk direformasi dan diperbaiki, karena peraturan merekamemperkenalkan semacam wewenang yang sangat diinginkan diseluruhSumatera” (1835, 84). P. J. Veth, dalam pendahuluannya pada catatan
religius dari perang Padri, menghubungkannya dengan Wahabi (Stuers1849, xcix), dan pada sejarah Sumatera pertama yang ditulis dalambahasa Melayu, yang ditulis dengan suatu bias anti-padri, pengaruhAbdul Wahab ditegaskan sebagai fakta (Moeda 1903, 55). Pada tahun1939, salah satu penulis biografi fanatik Tuanku tanpa ragu akanmenyebut pergerakan Padri sebagai “Wahabi” (Dihoeloe 1939, 29-30).Label “Wahabi” pada awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan,yang mengindikasikan bahwa ideologi reformis sama sekali tidak asingdalam konteks Melayu. Saat ini, Wahabisme Padri merupakan masalahkebanggaan bagi para Muslim reformis Indonesia yang radikal. Tidakmungkin mengetahui dengan sangat pasti apakah ketiga haji tersebutsecara langsung dipengaruhi oleh Wahabisme ketika tengah berada diMekah (Roff 1987, 37-39). Satu hal yang jelas ialah bahwa bagi parahaji yang kembali ini, budaya Minangkabau tradisional tidak dapatditerima; matrilineal dan rumah gadang matrilokal tidak dapatdikompromikan dengan ajaran esensial Islam. Salah seorang haji, yangdikenal sebagai Haji Miskin, bersekutu dengan para reformis yang lebihtidak sabar dalam lingkungan Tuanku nan Tuo yang telah mendirikandesa-desa yang dibentengi, menumbuhkan janggut, memakai jubah danturban, dan berupaya menciptakan kembali budaya Arab dipengunungan Sumatera Barat. Kombinasi dari reformis lokal dansemacam pengaruh yang menyerupai Wahabi inilah yang kemudiandikenal sebagai pergerakan Padri. Pada sebuah penentangan terbukadengan kekerasan terhadap kaum pendukung Materi, ektremis kaumPadri, Tuanku nan Renceh, membunuh bibi dari pihak ibunya (SteijnParvé 1854, 271-72). Kaum Padri mendeklarasikan jihad melawan kaumelit matrilineal, dengan membakar rumah gadang dan membunuh paratokoh pemuka tradisional yang menjunjung tinggi adat dihadapanperintah agama. Perang Padri ini merupakan serangkaian konflik yangberlarut-larut, dan “negara” Padri, yang dipengaruhi oleh tradisi politikMinangkabau yang bersifat desentralisasi dan demokratis, kekurangan
hi
er
ar
ki a
dm
in
i
st
ra
t
if y
an
g je
l
as
. D
es
en
t
ra
l
is
as
i ke
ku
as
aa
nmemungkinkan semacam peperang gerilya yang tidak mendorongpertempuran yang klimatis atau tragis. Pada tahun 1815, kaum Padri,dengan menggunakan skenario pembicaraan damai, membantai rumahbangsawan Pagaruyung yang berjarak dekat dengan Batu Sangkar (H.1838, 130). Mereka berbalik melawan Tuanku nan Tuo dan SyekhJalaluddin, dengan menyebut mereka Rahib Tuo dan Rajo Kafir (Kratzdan Amir 2002, 41).Selama dua puluh tahun, perlawanan sporadis diantara reformisdan tradisionalis memaksa Sumatera Barat dalam keadaan tidak stabil.Bertekad untuk merehabilitasi perekonomian Belanda pasca perangNapoleon (terlebih lagi setelah mundurnya Belgia pada tahun 1830) dandengan teriming-imingi rumor emas dan kekuasaan istanaMinangkabau, pada tahun 1821, pemerintah kolonial Belanda kembalike pelabuhan Padang, menandatangani perjanjian dengan tradisionalis,dan mengirimkan pasukan menuju perbukitan. Pada titik inilah dimanaarsip Belanda yang luas mengambil alih catatan sejarah Perang Padri.Menurut sejarah ini, serangkaian kesepakatan dan penghianatan padaseluruh pihak yang berkonflik membubuhkan dua belas tahunpertempuran yang sulit. Namun pada tahun 1830, Pihak Belandamampu memperkuat kembali pasukan mereka dengan tentara Belandadan orang Jawa yang baru memenangkan pertempuran melawanDiponegoro, dan pada tahun 1832, Belanda telah mengalahkan Bonjoldan nampaknya menggabungkan Sumatera Barat kedalam jajahannyayang semakin berkembang. Namun, jatuhnya kaum Padri pada tahun1833 diikuti oleh penyatuan reformis muslim dan tradisionalis matrilinealdalam sebuah perlawanan baru terhadap pendudukan asing. Enamtahun selanjutnya berlangsung peperangan yang ganas, dan pada tahun1838, Minangkabau dikalahkan, para pemimpin mereka dibunuh ataudiasingkan seperti halnya Tuanku Imam Bondjol. Menurut catatan arsipdan sejarah yang ada dari Belanda, kemenangan ini dihasilkan dari
mas
uk
ny
a Be
la
nd
a ke
da
la
m ko
pn
fl
ik pa
da pi
hak tr
ad
is
io
na
li
s ad
atmatrilineal yang mencegah Sumatera berubah menjadi pos Wahabiyang permanen. Memoar Tuanku Imam Bondjol mengungkapkebohongan pada cerita ini.Ketika para reformis dikalahkan secara militer, argumen-argumenmereka atas interpretasi yang ketat atas Al-Quran dan Hadits tetapdiyakini di Sumatera Barat. Selama dua abad, para intelektualMinangkabau telah terpanggil untuk mmebela keberadaan adatmatrilineal dihadapan kritik yang kuat dari para reformis Islam. Danmeskipun terdapat prediksi secara terus- menerus atas kematian yangmendekat
 tradisi yang bersifat matrilineal yang mencegah Sumatera berubah menjadi pos Wahabiyang permanen. Memoar Tuanku Imam Bondjol mengungkapkebohongan pada cerita ini.Ketika para reformis dikalahkan secara militer, argumen-argumenmereka atas interpretasi yang ketat atas Al-Quran dan Hadits tetapdiyakini di Sumatera Barat. Selama dua abad, para intelektualMinangkabau telah terpanggil untuk mmebela keberadaan adatmatrilineal dihadapan kritik yang kuat dari para reformis Islam. Danmeskipun terdapat prediksi secara terus- menerus atas kematian yang mactriahcat      Islam mereka, orang-orang Minangkabautelah berhasil mempertahankan dan memperkuat tradisi yang bersifatmatrilienal mereka. Perang Padri dan kritik reformis atas adatMinangkabau mendesak para pendukung adat untuk menyatakan danmempertahankan legitimasi kepercayaan mereka. Secara paradoks,neo-Wahabismelah yang memelihara adat matrilineal di Minangkabau;di Kerala di India bagian Selatan dan negeri sembilan di Malaysia, adatmatrilineal runtuh dibawah serangan yang lebih merusak dari negarakolonial dan pelopor modernitas awal abad kedua puluh (Peletz, 1988,1998; Arunima 2003).
Pegunungan Minangkabau, dimana ketiga haji “Wahabi” kembali,tidaklah statis. Perkebunan kopi kecil telah menghasilkan kekayaanindividual yang cukup besar, dan pusat-pusat Islam lokal dan tarekattelah ada, yang membangun sebuah jaringan kerja regional daripengaruh religius dan persahabatan. Sebuah sistem jalan setapak yang luas yang menghubungkan desa-desa pegunungan ke pesisir barat danke sungai-sungai yang mengalir dari timur ke Selat Malaka (Asnan2002). Pasar harian yang berotasi bergantian diantara berbagai kota,parameternya ditandai oleh jarak dimana seekor lembu yang bermuatanpenuh barang dapat pulang dan pergi pada satu malam. Pasar inimerupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan berita, untukmenceritakan cerita-cerita tradisional, dan untuk mendapatkan relasi diluar desa. Hal ini merupakan prototipe rantau—sebuah kesempatan bagiperjaka muda untuk meninggalkan rumah dan mendampingi ibu danayah mereka mengarungi dunia yang lebih luas, meskipun masihterbatas. Sistem pasar ini merupakan salah satu sarana utama dimanaidentitas dan bahasa Minangkabau dipelihara. Dan perampokan yangmerajalela—masalah utama kaum Padri—telah mengacaukan sirkuittradisional ini.Catatan asal-usul Tuanku Imam Bondjol menegaskan bahwaorang tua beliau ialah orang arab atau bahkan orang Maroko (Djaja1946, 5). Tergantung dari penulisnya, perubahan narasi ini mungkintelah memperbaiki catatan identitas Tuanku sebagai Muslim (khususnyakarena beliau bukan seorang haji) atau menghilangkan asosiasi Melayudan protonasionalisnya (dengan ini menjelaskan sebagai keturunanArab, kaum Padri memiliki kecenderungan terhadap kekerasan dankebencian terhadap wanita). Dalam memoarnya sendiri dan dalamcatatan Belanda pada periode yang sama, sama sekali tidak disebutkannenek moyang asing. Beliau merupakan seorang penduduk desa daribukit Alahan panjang di bagian utara pegunungan Minangkabau. AlahanPanjang merupakan wilayah yang miskin dan gersang, dan anak laki-lakilokal khususnya didorong untuk bermigrasi keluar dan mencarikekayaan. Tuanku Imam Bondjol muda menjelajahi jaringan kerjasekola-sekolah Islam, dengan belajar pada guru-guru yang berbedasesuai dengan spesialisasi mereka. Yang terpenting, beliau merupakanmurid dari ayahnya sendiri, Khatib Bayanudian, dan pada akhirnyabergabung dengan surau ayahnya sebagai guru dengan gelar PetoSyarif.Sebagai seorang alim muda pada akhir tahun 1790, Tuankumengantar pelindungnya, Ketua adat Datuk Bandaharo, ke pusatreformis yang dipimpin oleh Tuanku nan Tuo. Tuanku dan Datukmerupakan bagian dari pergerakan reformis disana ketika ketiga orangyang telah haji kembali, dan Tuanku sangat terinspirasi oleh ajaran yangmenyerupai Wahabi dan cara berpakaian yang mereka pakai danpanggilan hati mereka untuk kembali pada syariah. Beliau bergabungdengan Padri, namun beliau tidak dianggap menjadi salah satu yangkasar dan agresif diantara mereka, terdapat satu kelompok yang dikenalsebagai Harimau Nan Salapan (Delapan Macan). Dari memoar ini, jelasbahwa Datuk Bandaharo merupakan penjaga rahasia Tuanku danmungkin pemimpinnya. Pada awal tahun 1800, kedua orang inimembangun benteng Padri di Alahan Panjang untuk membayar jihadmereka. Kekuatan anti-Padri berkonsentrasi melawan mereka, danDatuk Bandaharo diracun dan meninggal. Pada titik inilah Tuankumerelokasi bentengnya ke dasar Gunung Tajadi di desa Bonjol, yangkemudian berubah menjadi Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1807.Perang Padri, sampai ke intervensi Belanda, merupakan perangsaudara yang pahit. Tuanku Imam Bondjol melihat pada kedelapanMacan, dan khususnya Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, mengikutimereka sebagai contoh dan menjadikan bentengnya sebagai pusat jihaddi daerah utara. Berdasarkan memoar beliau, kita mengetahui bahwaTuanku Imam Bondjol mengatur pembakaran desa Koto Gadang danmemerintahkan Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao untuk membawa jihad lebih jauh ke utara sampai dataran Batak. Benteng Bonjol menjadisemakin makmur karena Tuanku Imam Bondjol merampas ternak, kuda,hasil pertambangan, dan budak-budak selama kampanyenya. Pada titikini dalam karir Tuanku, Belanda bergabung didalam pertempuran dan di lembah-lembah utama perlahan mulai mencaplok wilayah Padri. HajiMiskin telah terbunuh (Tuanku Nan Renceh kemudian meninggaldikarenakan penyakit), dan tempat kekuasaan Padri beralih menujuutara, ke Bonjol. Kekuatan tuanku Imam menghasilkan keberhasilanyang besar dalam mengislamkan Batak bagian selatan dan bahkanmencapai tepi Danau Toba. Ia membuat kontak dengan para pemimpinMuslim di Aceh dan berdiri tenang memimpin pergerakan penggugahyang menyebar di seluruh bagian utara Sumatera. Sementara Belandamuncul di pusat Minangkabau dan mulai secara langsung melawankekuatan Bonjol, Tuanku Imam berada dalam posisi militer yang kuat.Kavalerinya dan pengetahuannya atas dataran dan pegunungantidaktertandingi, dan pasukannya terbukti mampu mengalahkankekuatan Belanda (Kroef 1962, 151-53; Clarence-Smith 2004, 276).Kendali atas sawah dan tanah perkebunan, dan juga pertambanganemas, menjamin makanan dan perbekalan para tentaranya. Namun,pada memoarnya, tuanku merasa ragu dan merasa perlu untukmenegaskan kembali fokus perjuangannya. Beliau merenung selamadelapan hari dan kemudian memanggil para penasehatnya untukpertimbangan mendalam. “Terdapat banyak hukum Quran yang telahkita abaikan. Bagaimana menurut kita?” (Adapun hukum kitabullahbanyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?)Para penasehatnya menegaskan, “Kita telah mengabaikan banyakhukum Quran” (Banyak lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita) (ImamBondjol 2004, 39).Dengan barang rampasan beliau, Tuanku mendanai empatpengikutnya, termasuk Tuanku Tambusai dan keponakan matrilinealnyabernama Fakih Muhammad, mengirim mereka untuk menjalankan hajiuntuk memperoleh “hukum Allah yang sesungguhnya” (kitabullah nanadil/hukum Kitabullah sebenarnya) di Mekkah (Imam Bonjol 2004, 39-40). Tuanku terus berperang secara agresif, membakar desa-desamusuh, membunuh bangsawan, dan membangun mesjid. Namun sang haji kembali dengan berita yang tidak diharapkan: Mereka melaporkanbahwa di Mekah, kaum Wahabi telah jatuh dan hukum-hukum yangdipelajari oleh Haji Miskin tidaklah benar. Didalam teks naskah, TuankuImam Bondjol sekarang membuat perubahan naratif yang luar biasa.Tuanku Imam Bondjol semakin berhati-hati dan penuhpenyesalan. Beliau segera mengembalikan rampasan perang danmengadakan rapat besar yang terdiri atas seluruh Tuanku dan hakim,basa dan panghulu (pemimpin adat), mendeklarasikan gencatan senjatadan menjanjikan bahwa beliau tidak akan lagi turut campur dalampekerjaan wewenang tradisional. Sementara perselisihan tetap tidakterselesaikan, rakyat setuju untuk mengikuti hukum adat basandi syarak—syariah sebagai dasar adat

Dan mereka menerima hukum Al-Quran dan mereka mengikutiQuran. Sehingga, seluruh barang rampasan perang dikembalikankepada para pemiliknya. Dan pada hari Jumat, ketika semuaorang tiba di mesjid, dan mereka belum memulai shalat merekakemudian Tuanku Imam, dihadapan seluruh hakim, memperbaikibeberapa hal sehingga kembali seperti semula. “Saya berbicarakepada seluruh pemimpin adat dan seluruh bangsawan di negaraini. Dan meskipun lebih banyak musuh akan datang dari segalapenjuru arah daripada memerangi mereka, kamu para pemimpinadat dan saya akan tinggal dibawah rasa hormat atas satu samalain dan perdamaian dan saya tidak akan lagi campur tangandalam kehidupan para pemimpin adat di Negari Alahan Panjang.Sehingga saya mengembalikan segala yang apa buruk dan baikdi nagari ini” [konfederasi desa].




















Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullah hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dankembalhanyolai kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dansekalian sudah tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi sembahyang maka beliau Tuanku Imam memulangkan hanyolai masa itu dan sekalian hakim. “Kepada sekalian basa dan penghulu dengan segala raja-raja dalam nagari ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan olehbasa dan penghulu saya hendak tinggal dituahnya hanyolai dantidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkansaya buruk dan baik nagari ini” 
 
 
 
Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullahhanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dankembalhanyolai kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dansekalian sudah tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi sembahyang maka beliau Tuanku Imam memulangkan hanyolai masa itu dan sekalian hakim. “Kepada sekalian basa dan penghulu dengan segala raja-raja dalam nagari ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan olehbasa dan penghulu saya hendak tinggal dituahnya hanyolai dantidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkansaya buruk dan baik nagari ini” Sekarang anda berbicara kepada kami seperti ini Tuanku danpada Andalah sekarang harapan kami berlabuh. Anda akanmenggantikan para tetua kami, dan jika dijajah atau ditekan, kamiakan mengadu pada anda dan anda akan menjadi pelindungkami.” Ini merupakan permintaan seluruh pemimpin adat padaTuanku Imam. Sehingga mereka mengaplikasikan hukum sesuaidengan ajaran Quran. Dan para pemimpin adat menggunakanhukum adat basandi syarak—syariah sebagai dasar adat. Dan jika ada masalah dengan adat, maka akan dibawa pada parapemimpin adat. Dan jika terdapat masalah dengan hukum Islam,maka akan dibawa kehadapan empat ahli Islam. Sehingga,informasi ini menyebar pada setiap nagari dan luhak dari nagariTuanku Rao dan Tuanku Tambusai [garis depan Mandailing]sampai ke Agam dan Tanah Datar, sampai 50 Koto dan Lintau.Dan sehingga sampai hari ini setiap nagari menggunakan divisipemerintahan ini







Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkanTuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kamakan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak dansempitnya pada kami melainkan tempat mengadu juga dan pemelihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah permintaansekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dankemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan jikalau ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu.Dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nanberempat. Maka masyurlah tiap-tiap nagari dan lukah dan nagari rao Tambusai lalu pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar sampai sekarang kini, lainnya terpakai juga pada tiap-tiap luhak 
dan nagari. Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkanTuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kamakan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak dansempitnya pada kami melainkan tempat mengadu juga dan pemelihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah permintaansekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dankemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan jikalau ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu.Dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nanberempat. Maka masyurlah tiap-tiap nagari dan lukah dan nagari rao Tambusai lalu pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar sampai sekarang kini, lainnya terpakai juga pada tiap-tiap luhak dan nagari (imam Bonjol 2004, 53, 55)



Ini merupakan teks yang rumit dan yang bahasanya menyimpang darinaratif lain yang langsung tanpa basa basi dari naskah Tuanku ImamBonjol. Tuanku menulis memoarnya selama berada dalam pengasingandi ambon dan Manado (lihat gambar 2). Beliau memikirkan pembacaganda yaitu pemerintah kolonial Belanda dan generasi Minangkabau,dengan mengetahui bahwa pihak militer Belanda akan membacamemoar itu dan anaknya akan membawa memoar tersebut ke SumateraBarat. Rapat yang digambarkan di sini merupakan saat transformasidalam sejarah Minangkabau. Perang Padri sebagai perang reformasiIslam ditinggalkan. Tuanku menyerah dalam perjuangannyamemurnikan Islam di Minangkabau dan segera meninggalkan rumahnyadan mesjidnya di Bonjol. Bahasa yang digunakan beliau juga terlaluambigu. Beliau pada saat yang bersamaan disanjung dan dicemoooholeh para mantan musuhnya.Dalam memoarnya, kehendak Tuanku Imam untuk melawan
sesa
ma saud
ara Min
ang
kab
aunya han
cur ket
ika bel
iau men
get
ahui bahwa ajaran Wahabi tidak dapat dipercaya. Dalam sebuah tindakandengan keberanian moral yang besar, Tuanku kepada publikmengumumkan ideologinya, menciptakan perbaikan, dan meminta maaf atas penderitaan yang telah disebabkan perang ini. Dalam memoarnya,para musuh Imam Bondjol merespon secara kaku, memandang beliausebagai seorang pelindung. Namun masih terdapat beberapaambiguitas dan bahkan kemarahan dalam bahasa yang digunakan.Mereka menuntut Tuanku Imam menggantikan para tetua mereka,orang-orang cenderung terbunuh oleh kaum Padri dalam peperanganmereka melawanan kekuasaan tradisional. Dan tidak jelas apakahTuanku Imam menunjuk pengganti atau secara langsung mengambilnyawa orang-orang yang ia bunuh. Dalam harapannya akan kedamaian,Tuanku menggunakan istilah dituahnya. Ini merupakan bentukpemberkahan dari pihak bangsawan yang umumnya dilakukan oleh jenis-jenis bangsawan yang ingin dihilangkan oleh kaum Padri. TuankuImam Bonjol mengembalikan status quo sebelum perang saudara,dengan membatasi kekuasaan agama pada urusan syariah danmengizinkan para pemimpin adat untuk membahas maslaah-masalahsosial. Beliau menyatankan bahwa “adat basandi syarat”—syariah akanbersifat fundamental, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan adat sosial.Bahkan pegawai pemerintah Belanda melaporkan pada tahun 1837penerimaan yang meluas atas formula ini, “Adat barsan di Sarak danSarak barisan di adat,” yang menegaskan bahwa baik hukum Islam danadat lokal tersusun secara mutual dan interdependen (Francis 1839,113-14). Imam Bondjol mengklaim semacam kemenangan dalamakomodasinya dengan para tradisionalis. Padahal kita mengetahuibahwa beliau telah membubarkan Padri sebagai pergerakankebangkitan Muslim dan bahwa beliau akan segera mundur sementaradari perannya sebagai pemimpin.Suara pendapat memoar sekarang telah habis; Tuanku imamingin berdamai dengan "company" Istilah untuk pemerintahkolonial Belanda lama setelah pembubaran VOC), beliau lelah hidupdalam sebuah negara yang kepemimpinannya terbagi (Imam Bonjol2004, 43). Segera setelah pertemuan dengan para pemimpin lokal,beliau menghimpun keluarganya dan meninggalkan Bonjol menujuAlahan Panjang, menyerahkan bentengnya pada tiga pemimpin adat.Dalam hitungan hari ketiga panghulu ini setuju untuk menyerahkanBonjol pada Belanda dengan catatan bahwa pasukan belanda tidakakan mengganggu benteng tersebut. Namun, tentara Belanda dan Jawasegera mengusir penduduk Minangkabau dari Bonjol dan menempatibenteng tersebut, dengan menggunakan rumah Tuanku dan bahkanmesjid beliau sebagai garnisun. Tuanku Imam mengetahui hal ini danmengadakan rapat dengan Komandan Belanda Elout. Dalampercakapan mereka, Tuanku Imam menawarkan gencatan senjata,dengan menjelaskan bahwa ia telah berusia enam puluh tahun danterlalu letih untuk bertempur. Elout menawarkan pensiun dan menunjukTuanku Mudo, anak didik Tuanku Imam Bondjol, sebagai bupati AlahanPanjang. Namun perdamaian tidak bertahan lama. Baik kaum Padri dantradisionalis murka pada penyalahgunaan benteng dan mesjid olehtentara Belanda dan Jawa. Setelah terjadi sebuah insiden penganiyaanpekerja Minangkabau oleh Belanda dimana seorang pria tertembak,pekerja Minangkabau tersebut (menurut cerita dalam memoar) larimengamuk, membunuh soerang tentara Jawa yang berkemah di dalammesjid dan 139 orang Eropa yang bertugas di kota tersebut. Pada 11Januari, 1833, perang memasuki fase yang baru, yaitu perangperlawanan bersama rakyat Minangkabau terhadap pendudukanBelanda.Tuanku Imam Bondjol kembali lagi menjadi pemimpin militer, danmemoar tetap sangat terperinci. Beliau seringkali diburu, tinggal di hutanbelantara, terlibat dalam peperangan gerilya melawan Belanda. TuankuImam tidak lagi merupakan seorang revolusioner yang ingin mengubahmasyarakat yang rusak dan mengajarkan agama pada orang-orangsenegaranya. Beliau berupaya mengusir penjajah asing, dan beliauberusaha bertahan. Memoar yang ditulis menggambarkan sebuahkehidupan yang berganti dari rumah ke rumah, menulis daftar namapara ibu dan anak yang terbunuh dalam pertempuran, memimpikan hari-hari yang damai di Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol bukan lagiseorang pria yang diberkahi dengan pengabdian dari para pengikutsetianya. Memoarnya menjadi sebuah teks atas keraguan dankegentaran. Tuanku Imam Bondjol lelah hidup di hutan dan takut ataskesejahteraan keluarganya. Beliau menjadi semakin bersikapmendamaikan, dengan berpidato pada para elit tradisional danmemastikan mereka atas posisi esensial mereka dalam masyarakatMinangkabau, menemui pemerintah Belanda dan berupayamemenangkan jaminan perlindungan bagi anak-anaknya. Pertempurantetap berlangsung sangat mengerikan, namun perlahan, Belandamemenangkannya dan mengambil alih Bonjol, dengan mengalahkanperlawanan Minangkabau pada tahun 1837. Residen Francis danpegawai pemerintah Belanda lainnya memutuskan bahwa Tuanku Imamterlalu berbahaya untuk mengizinkannya tetap tinggal di SumateraBarat. Sebagaimana beliau minta, beliau diasingkan ke Jawa, kemudianke Ambon, dan pada akhirnya ke Manado, dimana setelah lima tahunyang penuh dengan sakit-sakitan, “pada tahun-tahun terakhirnya, dansayangnya” (Imam Bonjol 2004, 190), Tuanku Imam meninggal.Tuanku Imam Bondjol memiliki ilham penyesalan menyangkutajaran yang menyerupai wahabi dan kemudian kehidupan kedua yangmenggabungkan peperangan dengan pembicaraan damai. Namunsebagaimana ditegaskan laporan Belanda, karirnya ditandai olehkekerasan yang ekstrim. Pada tahun 1820, reformis moderat jalaluddinmengutarakan pengalamannya sendiri dalam perang bagi pendengar bahasa Belanda. Jalaluddin mengeluhkan bahwa memang, tradisionalisAgam tidak ubahnya seperti perang, tidak mampu membedakan halaldari haram, dan bersedia menjual ibu dan saudara mereka denga hargayang sesuai. Namun kaum Padri lebih buruk.






















Terdapat aspek-aspek yang baik dari Tuanku Padri, merekamengatur berdoa dan mendorong berzakat dan berpuasa selamaRamadan, dan menjalankan haji ketika mereka mampu, danmemperbaiki mesjid dan tempat-tempat pemandian, danmemakai pakaian yang sesuai, dan memerintahkan orang-oranguntuk mengejar pengetahuan dan berdagang. Tedapat aspek-aspek buruk dari Tuanku Padri yang melakukan pembakaranrumah, yang [tanpa pemerintah adat] menunjuk pemerintahan didesa, dan membunuh tanpa sebab yang jelas, dimana merekamembunuh seluruh ulama [yang tidak sepakat dengan mereka],dan membunuh seluruh intelektual, menyebut merekapengkhianat, dan menjarah dan merampas, dan mengambilwanita yang memiliki suami, dan menikahi para wanita yangmemiliki kedudukan yang tidak sesuai tanpa persetujuan mereka,dan menangkap orang-orang dan menjualnya menjadikannyabudak, dan menjadikan tawanan sebagai gundik, dan menghinaorang-orang bangsawan, dan menghina para tetua, danmenyebut mereka yang taat sebagai kafir, dan mengutuk mereka. Adapun yang baik sebalah Tuanku Padri ialah mendirikansembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulanRamadan, dan naik haji atas kuasa, dan perbaiki mesjid dan perbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang hala, danmenyuruhkan orang menuntut ilmu, dan berniaga. Adapunsekalian yang jahat daripada Tuanku Padri menyiar membakar,dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan membunuhorang dengan tidak hak, yaitu membunuh segala ulama, dan membunuh orang-orang yang berani, dan membunuh orang yang cerdik cendekiawan, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, danmenikahkan perempuan yang tidak sekupu dan tidak relanya,dan menawan orang yang berjual dia, dan bepergundi tawanan,dan mehinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orantuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia(Kratz dan Amir 2002, 49)

Reaksi para orang Eropa terhadap kekerasan kaum Padri iniakan memberikan implikasi yang luas bagi pengetahuan mengenaiorang Indonesia. William Marsden yang berketurunan Inggris danSumatera yakin bahwa kerajaan Minangkabau merupakan pusatkebudayaan dunia Melayu—sebuah tempat dimana Sansekerta danbudaya India pertama bersentuhan, menyatu dalam kehidupanmasyarakat dan pada akhirnya melepaskan Melayu karena munculorang Jawa. Pada essay awal yang sangat berpengaruh, Marsdenmerekomendasikan suatu eksplorasi pada kerajaan Minangkabau,dimana teks-teks asli transmisi Hindu-Melayu mungkin ditemukan, tanpadipengaruhi oleh bahasa Arab (Marsden 1807, 218, 223). Gagasanbahwa Minangkabau merupakan “rumah nenek moyang” orang-orangMelayu telah membentuk ilmu bahasa Indonesia, sebagaimana terusmembentuk persepsi diri orang Minangkabau sampai saat ini (Cust1878, 133; andaya 2000). Karenanya Perang Padri merupakanancaman bagi Pagaruyung, istana Minangkabau kuno dan sumber budaya Melayu (Drakard 1999). Minangkabau diberikan sebuah posisikhusus dalam strata kultural Indonesia. Essay Marsden menyatakanMinangkabau sebagai titik kontak India bagi dunia Melayu. IstanaPagaruyung, kerajaan yang diceritakan di pegunungan Minangkabau, bagi para murid Ilmu Indonesia pada abad kedelapan belasmenempatkan orang-orang Melayu pada dasar kultural yang samasebagaimana para tetangganya yang lebih Hindu, orang-orang Jawa.
kerajaan legendaris Pageruyoung dan menemukan sebuah reruntuhandimana batas-batasnya hanya ditandai oleh pepohonan buah dankelapa. Dalam suatu prestasi alkimia arkeologi, Raffles membayangkankerajaan ini dari puing-puing dan semak belukar. “kota yang dulunyaluas” telah tiga kali terbakar, dan peperangan Padri yang terus-menerustelah meninggalkan benteng Hindu-Melayu yang besar dan tertutuprumput liar. Didesa suruaso, Raffles dan rombongannya dikawal menuju kediaman terbaik yang disandang tempat ini—menuju istana, sebuahrumah kayu kecil sekitar tiga puluh kaki, terletak dengan indah di tepiSungai Emas (Soongy Amas). Disini kita diperkenalkan pada TuanGadis yang memerintah kotaReruntuhan ini (atau reruntuhankhayalan) merupakan bukti dari sjarah yang hebat dan agung darimelayu, sebuah peradaban yang dahulu menyaingi Jawa dan sekarangterbukti memburuk







































Dan ketika Raffles mengakhiri tangga batu sebuahmesjid kecil, ia menemukan prasasti “Kawi asli” [Sansekerta Jawa kuno],kita mengetahui apa yang harus disalahkan untuk perusakan tragis ini:Islam. Nekropolis Pagaruyung, “situs dari banyak gedung luas sekarangtelah hilangseperti bayangan, dibatasi tanah kering dan “sedikit
pepo
hona
n yan
g pat
ut dim
uli
aka
n Melankolis, mengutip dari BrataYudha, Raffles masih dapat melihat istana dari sebuah pohon tebu yang
berdiri, tahta yang digores pada sebuah batu datar besar (Rafles 1830 , 358- 60) Misi Raffles menandai permulaan dari penetrasi asing yang
mel
ua
s da
n te
rus
-me
ne
ru
s ke
dal
am pe
rbu
ki
ta
n Su
ma
te
ra Ba
ratKesedihannya, kegagalannya untuk menemukan kerajaan Hindu-jawayang dapat melegitimasi budaya Melayu, akan membuat IslamMinangkabau dianggap kejam dalam tulisan banyak cendekiwan yangmengikutinya menjelajahi pegunungan. Dan persinggahannya diserambi mesjid, sebuah pengungkapan bukti “asli” asal mula Hindu,dapat berfungsi sebagai sebuah perumpamaan bagi penggalian syncretic antropologi Indonesia
Kita beralih pada bentuk teks khusus dari Naskah Tuanku imamBondjol. Teks ini terdiri atas tiga bagian berbeda. Bagian pertamaberjumlah 190 halaman merupakan memoar Tuanku Imam ImamBondjol sendiri, mulai dari masa mudanya sampai kematiannya dimenado, yang dibawa ke Sumatera Barat oleh putra tuanku, SutanSaidi, yang menemani beliau dalam pengasingan. Halaman 191-324merupakan memoar dari putra yang lain, Naali Sutan Caniago, yangbertempur disisi ayahnya di hutan dan yang diberikan posisi dalampemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari persyaratanpenyerahan diri Tuanku. Bagian ketiga, halaman 325-332, berisi menit-menit (proses verbal) dua pertemuan yang diadakan di pegununganMinangkabau pada tahun 1865 dan 1875. Banyak kumpulan manuskripMelayu berisi bermacam-macam teks dan yang tidak berkaitandigabungkan dalam satu volume. Mereka tidak dibaca secaraintertekstual. Dalam kasus Naskah Tuanku Imam Bondjol, tepatnyaketerkaitan teks yang memberikan potensi untuk cerita Tuanku.Akademisi belanda Ph. S. van Ronkel, yang diberikan akses padamanuskrip pada tahun 1910, ketika manuskrip tersebut berada dibawahkepemilikan keturunan Tuanku di Lubuk Sikaping, baca bagian ketiga sebagai teks yang berbeda dan terpisah. Dalam sebuah artikelmengenai “Pembentukkan Kode hukum Kami di Pesisir Pantai BaratMenurut Notasi dalam sebuah Manuskrip Melayu,” ia mencatat bahwatiga penulis yang berbeda telah menulis bagian-bagian individual (1914,251). Van Ronkel meringkas bagian ketiga dari Naskah, yangmenggambarkan perhimpunan besar para ahli hukum Belanda, parapemimpin residensi pemerintahan, dan seluruh pekerja pemerintahanMinangkabau utama yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Iadengan tepat memandang pertemuan-pertemuan ini sebagai titikperubahan dalam penggabungan Sumatera Barat kedalam Hindia Timur Belanda. Dan untuk menghargai signifikansi pertemuan-pertemuan ini,kita perlu mengulas jenis-jenis campur tangan pemerintah kolonialBelanda yang diberikan pada masyarakat di wilayah Minangkabau diantara tahun 1820 dan 1875.Tahun 1847 mendatangkan cultuurstelsel, sebuah sistem bagipenanaman kopi secara paksa pada dataran tinggi Sumatera bagianbarat. Dengan sistem ini, belanda menyusun mekanisme untukmempertahankan kesatuan manajerial pribumi, termasuk posisi-posisiKepala Nagari dan Tuanku Laras, yang pertama kali diperkenalkan padatahun 1823 (Ambler 1988, 49-51). Pihak Belanda memahami bahwadengan memanggil administrator regional mereka sebagai “Tuanku”akan merendahkan kekuasaan tradisional dan, sampai titik ini, Tuankusecara ekslusif merupakan gelar Islami. Pada awalnya, Kepala Nagaribertanggung jawab karena memaksakan pengumpulan dan pengirimankopi, menerima sebuah bonus untuk keberhasilannya atau masapenjara yang cukup lama untuk kegagalan melaksanakan tugas ini(Colombijn 1998). Pada tahun 1860, posisi yang lebih baru, panghulusuku rodi, telah diperkenalkan untuk mengatur baik penghimpunan kopidan pemenuhan tugas-tugas buruh (Abdullah 1967, 36-37).
 Pada tahun1875, para haji secara resmi dilarang bekerja dengan BinnenlandschBestuur—pemerintahan sipil kolonial—memperdalam persepsi bahwa pihak belanda bermaksud menyisipkan kaum elit anti-Islam diMinangkabau (Hasselt 1882, 61). Ini merupakan periode ketikaMinangkabau secara sarkastis mulai menyebut diri mereka sendiri “daunkopi Melayu,menunjuk pada serpihan semak yang dipanen untukmereka jadikan minuman kopi encer (Zed 1983). Ini merupakan periodeyang paling sulit

Elizabeth Graves mengutip sebuah laporan dari akhir tahun 1860yang membahas penganiayaan buruh. Orang-orang tidak hanyaterdorong untuk membangun gudang kopi dan gedung pemerintah,namun juga

Setiap Tuanku Laras menuntut tempat kediaman dan kantornyasendiri di dalam pusat wilayah yang digunakan ketika ia harusberunding dengan petugas Belanda. Lebih buruk lagi, parapetugas lokal, baik Belanda dan Minangkabau, seringkalimenyalahgunakan pajak buruh, dimana pada beberapa kasusmenuntut gaya arsitektur dan dekorasi yang mewah yangmeningkatkan tugas yang memang sudah sulit. (1981, 68)

Pada tahun 2001, anak perempuan dari seorang Tuanku Larasmengingat persyaratan yang diajukan ayahnya—empat pelayan untukmelaksanakan tugas buruh dan rumah dengan atap tanduk/mengerucut,salah satu dari hanya tiga belas yang diizinkan Belanda untuk dibangundi daerah-daerah tempat hunian baru (Aman 2001, 15, 60). Panghulu,Kepala, dan Tuanku buatan Belanda ini memperpanjang sistempenanaman yang dahulu memberikan mereka tujuan dan pembenaran.Korupsi dari kaum elit adat “palsu” secara langsung mengarah padapemberontakan yang hampir terjadi pada tahun 1897 dan Perlawanananti-pajak pada tahun 1908 (Young 1994, 49-83).
 Namun merekaberhasil melalui tantangan-tantangan ini, dan pemikat-pemikat masa jabatan mereka sampai sekarang telah membentuk topeng kekuasaandi Minangkabau






Ikatan hutang dan perbudakan merupakan hal umum di seluruhdunia Melayu, dan setiap rumah tangga dapat memiliki budak-budakpelayan sendiri, orang-orang yang ditangkap melalui razia dan
Ikatan hutang dan perbudakan merupakan hal umum di seluruh dunia Melayu, dan setiap rumah tangga dapat memiliki budak-budakpelayan sendiri orang-orang yang ditangkap melalui razia dan Indentured ke rumah. Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1860,pemerintah Belanda secara resmi menghapus perbudakan di Hindia(Verker Pistorius 1871, 26-30, 106-11). Pernyataan tersebut tidakmendorong implementasi langsung. Baru pada tahun 1875 dimana T. H.Der Kinderen, reforis hukum kolonial, datang ke Minangkabau dariBatavia, membantai seekor kerbau pada maisng-masing dari ketigaluhak, dan menyatakan para budak bebas Segera setelah itu, masyarakat elit Minangkabaumempergunakan sebuah sarana untuk membedakan kelas dan statussebuah rumah tangga. Dikembangkanlah sebuah istilah kekeluragaanbaru, seperti kamanakan dibawah lutuik (anak-anak kakak perempuan“dibawah lutut”), digunakan untuk menunjuk mantan budak. Keluarga-keluarga yang bebas tinggal di rumah gadang di pusat desa, di tempat-tempat yang dipesan untuk “para penduduk asli.” Para keluarga budakdikucilkan, dibatasi pada pinggiran desa, dan pada awalnya dibatasihanya pada jenis-jenis rumah tertentu
(Verkerk Pistorius 1871).

Pada tahun 1872, Van Harencarspel, yang menggambarkandirinya sendiri sebagai "sekretaris Utama" pemerintahan kolonial,mengajukan regulasi yang mengendalikan pergerakan dan perilakudomestik untuk seluruh residen non-Eropa dari koloni (Toorn 1894).Hukum ini menetapkan denda tidak hanya untuk pergerakan dan tempatkediaman tanpa izin namun juga untuk apa yang dianggap perilaku tidakpantas dalam rumah gadang. Denda ini diurutkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, dan mereka memberikan kriteria dariprioritas Belanda

Pelanggaran-pelanggaran berikut terbukti paling tidak berbahayabagi pihak Belanda: “pergerakan yang salah” dan “kesalahan tempatkediaman dalam sebuah desa” menghasilkan penalti hanya mulai darisatu sampai lima belas rupiah. Seorang wanita dibebani denda yangsama jika ia tidur dengan seorang pria yang bukan suaminya atau tidur  jauh dari rumahnya selama lebih dari satu malam tanpa izin. Catatantambahan memperjelas peraturan ini: “Pelanggaran dari larangan initimbul jika seorang wanita terlibat dalam berbagai tindakan denganseorang pria, namun secara teknis tidak melakukan perzinahan.Seorang pria juga dapat didenda karena memiliki hubungan rahasiadengan seorang wanita yang telah menikah. Masuk tanpa izin danpembuangan tanpa izin atas barang-barang busuk juga menimbulkandenda mulai dari satu sampai lima belas rupiah (Toorn 1894, 1-9,catatan halaman 30).

Denda-denda yang lebih tinggi—mulai dari enam belas sampaidua puluh lima rupiah—dapat dipungut karena dendam yang disengaja,pembuatan senjata api atau senapan, atau gagal menjaga rumahseseorang. Gagal mengawasi anak-anak atau orang gila pun dikenakanhukuman. Denda yang tertinggi, dua puluh enam sampai enam puluhrupiah, dikenakan pada orang-orang yang mengadakan pertemuandengan tujuan yang salah, menduduki properti orang lain, atau menjual jimat (yang menjanjikan kekebalan) (Toorn 1894, 15-24).Sebagian besar larangan ini dengan mudah dilakukan—salahtempat kediaman, menduduki properti orang lain, dan pembuatansenjata api dengan cepat diselidiki dan dipastikan. Kejahatan lain yanglebih penuh gairah jauh lebih sulit untuk dibuktikan dan memerlukanmempertimbangkan kesaksian dan tuntutan. Sementara Minangkabautelah mencoba menyelesaikan pertikaian tanpa berpaling pada pihak Belanda, perbedaan yang tidak dapat direkonsiliasi membuat sistemperadilan kolonial menjadi pilihan terakhir sebagai penengah. Sistemlegal baru tentunya berhasil berkat para pengacara pribumi, jaksa, dan jurusita, jaksa penuntut, dan pembantu kepala sita. Namun orangMinangkabau kebanyakan juga mulai mempelajari bahasa baru hukumbarat. Buku-buku diterbitkan menjelaskan regulasi-regulasi baru, banyaksampel “surat-surat resmi” tambahan dan petisi-petisi (Kinderen 1882;Pamoentjak 1895; Blommenstein 1903). Pihak Belanda berupayamengubah Minangkabau menjadi sebuah budaya hukum dan cukupberhasil—meskipun upaya-upaya untuk mengatur pernikahan ditentangketika dimungkinkan. Pertikaian atas tanah telah mengikat propertiselama beberapa generasi, tidak valid bagi siapapun (Colombijn 1994).Dibawah kekuasaan Belanda, Minangkabau hidup dengan hukum kolnialdan diawasi oleh CONSTALBURY.

Denda dipaksakan dan telat membayar berarti harus siap untukdipenjara. Sistem colonial yang illegal merupakan sebuah kekacauanyang dimulai selama Perang Padri, namun dipercepat dan dijadikanprosedur dalam setiap pertemuan yang dijelaskan pada Naskah TuankuImam Bonjol
Beberapa catatan yang ada di dalam Naskah tersebutmenggambarkan sebuah susunan pertemuan di pengadilan pusat diBukit Tinggi. Yang pertama adalah pada tanggal 6 April 1865 dan yangkedua adalah pada tanggal 14 Desember 1875. Kedua pertemuantersebut dipimpin oleh Der Kinderen, yang secara tidak resmi disiapkanuntuk menginvestasikan uangnya pada perayaan kurban tanpadiyakinkan dahulu bahwa dia akan diterima atas keputusannya.Pertemuan-pertemuan tersebut dihadiri oleh gubenur Sumatera BaratJFRS van den Bosshe, penduduk Padang Panjang, HA Steijn Parve;sebelas penguasa Belanda, 76 Tuanku Laras dan sejumlah kepala suku dan penghulu yang tidak diketahui jumlahnya. Pada pertemuan di tahun1865, Der Kinderen mendukung pembentukan birokrasi regional denganpenguasa Belanda yang mengawasi daerah Minangkabau yangbertugas mengawasi peraturan. Undang-undang tersebut merupakankombinasi dari adat local dan hukum Indies dari pemerintah kolonial,menggemakan keseimbangan antara adat dan syariah yang merupakanbagian dari pengesahan Tuanku Imam. Satu decade berikutnya, Der Kinderen mengumpulkan kembali orang-orang dalam sebuah pertemuandan mengevaluasi kesuksesan implementasi birokrasi legal di SumateraBarat. Hanya pada poin ini, setelah sepuluh tahun propaganda parapendukung pengesahan, dia mengumumkan penghilangan perbudakansecara resmi. Seorang pembaca Naskah akan melihat sebuah namayang cukup familiar diantara daftar nama Tuanku Laras- anak lelakiTuanku Imam Bonjol, Sutan Caniago, yang mewakili Alahan Panjangpada saat itu


Pada teks yang terpisah, Van Ronkel (1915) menyimpulkan duabagian pertama Naskah Tuanku Imam Bonjol, namun dia gagal untukmengenali hubungan intertekstual antara tiga bagian tersebut. Ketikamembaca secara seksama, jelaslah bahwa Naskah tersebut adalah satubagian, satu teks yang polyvalent. Bagian pertama, cerita tentangTuanku Imam Bonjol adalah cerita tentang perang dan kekalahan. Satukemenangan Tuanku Imam Bonjol adalah realisasi keputusannya yangsalah untuk mengikuti kaum Padri. Dia memulai sebuah kampanyepermintaan maaf dan penggantian kerugian yang diabaikan oleh paraelit tradisional dan kalangan militer Belanda. Tuanku Imam juga bukanseorang martir. Dia mengalah pada saat perang Padri dan dikalahkanpada saat perang melawan Belanda, namun dia tidak dieksekusi. Tapipermintaannya untuk mempertahankan tanah kelahirannya ditolak dansepanjang hayatnya dia hidup dalam pengasingan di sebuah daerahpantai berbasis orang-orang Protestan di Sulawesi Utara. Jika orang-orang mencari sejarah Indonesia mengenai sosok pembaharu Wahabi mereka dapat memilih Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh atau TuankuRao. JIka mereka ingin mengingat sosok reformis yang moderat tanpaada kekerasan, maka Tuanku Nan Tuo atau Syekh Jalaludin adalahsosok yang tepat. Tapi Tuanku Imam Bonjol dikenal – seseorang yangsecara militer telah gagal, yang secara ideologis kecewa, dan bergeser dari aksi kekerasan ke tulisan yang bersifat perdamaian- kemudianhanya dihadiahi pengasingan dan nestapa. Bagian kedua dari naskahsama membingungkannya.
































































































Pada tahun 1865, pada saat dua legal symposium yang pertama,Naali Sutan Caniago tertangkap sebagai birokrat yang kecewa di dalamadministrasi kolonial. Janjinya sebagai Tuanku Laras sepertinyamerupakan hasil Belanda yang menguasai 30 tahun janji pada ayahnya
(Imam Bonjol 2004, 234). Cerita tentang Sutan Caniago bukan hanyaperang saja, tapi seperti ayahnya juga, yaitu kekecewaan danpenghinaan. Selama beberapa tahun pengabdian, Sutan Caniagoberbeda pendapat dengan sesama pejabat Minangkabau da penguasaBelanda. Cerita tersebut menyimpulkan sebuah dialog panjang antaraSutan Caniago dan pemerintah Belanda, termasuk Tuan Besa(penduduknya). Selama masa keterpurukan, Sutan Caniago protes danmengklaim bahwa dia tidak mendakwa atau bahkan berbicara melainkanhanya berpetualang mengawasi para buruh (Imam Bonjol, 2004, 257).Dia telah menjadi lawan yang menentang Tuanku yang tradisional.Tuanku yang religius dilokalisasi dan dikunjungi oleh para pelajar yangmencari ilmu pengetahuan. Dia akan berbicara dan tidak bergerak:suaranya merupakan daerah kekuasaannya. Sutan Caniago tidakbanyak bersuara, bergerak tanpa tujuan, sejenis petualang yang lemahyang merupakan figure tragis dalam sastra Minangkabau (Hadler 1998,141). Dia mengkomplain orang-orang yang Mandago Mandagi sebuah istilah kuno yang menyatakan kedurhakaan). Tuan Besar memintanyauntuk menjelaskan istilah tersebut dan Sutan Caniago merespon bahwa Mandago artinya ‘membuat kekacauan di sebuah negeri yang dapat mengacaukan kehidupan manusia…. Dan Mandagi adalah membuatperselisihan yang dapat mempengaruhi aliran uang’. Pada poin ini,seorang Datuk yang simpati, pemimpin adat berusaha untukmemperlihatkan rasa hormatnya pada Sutan Caniago dan ditegur oleh jaksa, ahli hukum di Minangkabau yang dipengaruhi Belanda

Jangan memperlihatkan rasa hormat pada Tuanku Sutan dengancara apapun. Mengapa kamu melawan pemerintah Belandadengan sia-sia, dan jangan mulai mengemis kasih sayang.Sekarang sudah terlambat untuk mengemis kasih sayang

Sutan Caniago kemudian meminta untuk berbicara secara pribadidengan penduduk dan komandannya. Dia mengancam Negara dengankemarahan anak-anaknya dan anak-anak saudarinya jika keluhannyatidak diindahkan. “Aku akan menghormatimu dari mulai ujung kakihingga ujung kepala jika kamu mengizinkan aku untuk membuatpermintaan berupa catatan”. Teks tersebut kemudian menginggalkan jejak yang tidak terpecahkan: “Dan sejak sekarang aku diperbolehkanuntuk tetap berada di luar adat dan permintaan bahwa perintah adat danperintah agama bersaksi demi Allah dan Muhammad sehinggamenyimpulkan hal ini pada tahun 1868 di kampong Koto di rumahTuanku Laras Bonjol Alahan Panjang”. (Imam Bonjol 2004, 264-65).

Tidak ada respon tertulis pada permintaan Sutan Caniago dantidak ada cerita resolusi di bagian kedua Naskah. Namun tentu saja teksitu sendiri adalah jawaban bagi permintaan Sutan Caniago. Tertulisdalam catatan tersebut bahwa dia meminta. Dan bagian ketiga yangtidak berhubungan adalah respon pemerintah Belanda pada ikrarnyauntuk hidup di luar tradisi MInangkabau dan di bawah hukum adat danhukum kolonial Belanda. Dia telah berhasil menggerakkan sebuah arsip bagian kedua Naskah Tuanku Imam Bonjol. Suaranya didengar. Dansementara kita menyangka bahwa Sutan Caniago tidak akan pernahdihilangkan atau berhenti dari posisinya sebagai Tuan Laras setelahkonfrontasi yang terjadi pada tahun 1868, kita tahu dari bagian ketigadari Naskah bahwa dia menghadiri pertemuan-pertemuan pada tahun1865 dan 1875. Naskah Tuanku Imam Bonjol adalah sejarah mengenaiPerang Padri namun juga merupakan sebuah alegori transisi daribudaya prakolonial dan cikal bakal gerakan radikalisme kaum Islammilitant bagi Negara dan hukum kolonial Belanda. Hal ini bukan hanyatentang kontrol pemerintah Belanda namun merupakan sebuah jalankembali pada sebuah era raja yang lemah dan dewan adapt kosultatif yang dikenal sebagai sebuah periode yang stabil secara politis sebelumreformasi Islam pada abad 18 sesudahnya. Naskah Tuanku Imam Bonjolmenggoda idiom deliberatif adapt Minangkabau, kepada demokrasitradisional Padang Panjang dan sebuah visi tradisi politik lokal yangmerupakan orang-orang egaliter dan anti kekerasan. Setelah kekacauanPerang Padri, pemerintah kolonial Belanda telah membangkitkankekuatan diskursif yang disebut Jane Drakard (1999) sebagai ‘KerajaanKata’ pada abad 17, dimana kekuatan teks melebihi kekuatan militer danMinangkabau didefinisikan bukan oleh kekuatan militer namun olehkeberanian retoris di pengadilan

Prajurit
Lihatlah Padang Panjang di Padang Darat, yang memerahdengan darah yang mengalir dari hati saudara-saudari. Telingamuakan mendengar tangisan dari jiwa-jiwa yang hilang, yangterjebak dalam perang sipil. Anda akan mengingat satu momentkhusus, begitu sulit dilupakan, ketika penjajah dari luar negeridilengkapi dengan peralatan peradaban dan perjuangan,menginjakan kaki di Padang Panjang dimana benderakemenangan kaum Padri melambai ditiup angin sepoi-sepoi, dankekacauan madzab ini membangun kontrol Eropa (yangseringkali dirusak oleh pemberontak local). Sampai hari ini,kontrol Eropa telah menenggelamkan akarnya secara perlahan-lahan ke dalam bumi. (Djohan 1919).
Namun jika Djohan begitu kritis pada Belanda, dia sama kecewanyadengan kaum Padri:

Pada saat itu juga dunia menyaksikan kerusakan kerajaanMinangkabau, sebuah kerajaan yang telah bersinar pada masakejayaannya, sebuah kejayaan yang masih menyilaukan hatiorang-orang Sumatera bagian tengah, meskipun pada saat itubintang Minangkabau tenggelam ke benua sejarah dan sampaisekarang dikenang sebagai surga yang hilang

Bahder Djohan merupakan mata-mata pemerintah Belanda,individu yang ideal, seseorang mewakili teori asosiasi, seorang wargaNegara Belanda yang tropis. Dia fasih berbahasa Belanda dan kritiknyatentang kolonialisme tidaklah bersifat mengancam dan tidak bersifatradikal, dilakukan di daerah ibukota dan di antara para cendikiawanBelanda yang sensitif. Karangannya mengenai era kaum Padrimengambil sumber dari sumber-sumber Belanda dan dia cukup puitisketika mencerminkan kegagalan aliran reformasi moderat

Kami sedang menulis tentang awal abad ke-19. Matahari hampir terbenam. Sinarnya hampir menghilang menyepuh ujung langitbarat. Di lembah Agam, di negeri Koto Tuo, seorang cedikiawanagamis berdiri di sebuah mushala. Tuanku Koto Tuo memandangilangit yang berawan. Apakah gerangan yang muncul dihadapannya? Apa yang telah dirasakannya, bahwa apakansekarang matahari terbenam akan membawa kemakmuran dankedamaian bagi negerinya? Apakah yang dia rasakan, bahwawarna emas di awan memancarkan bara yang sebentar lagi akanmenyalakan semua kelompok dan memperlihatkan mereka padasebuah cara berpikir yang disertai petunjuk?
Atau apakah dia sedang berkontemplasi dengan muridtercintanya, Tuanku Nan Renceh kemudian mengajar di nagariKamang? Sudahkah dia merasakan bahwa prilaku muridnya yangdia harapkan akan menanam biji-biji persatuan atau persaudaraan di antara penduduk Minangkabau telah pergi untukmenyepuh dendam di antar sanak saudara dan orang-orangsekaum sekeluarga 

Air mata Tuanku Koto mengalir dan air matanya memecahkankeheningan Padang Panjang, yang sekarang ditutup olehkegelapan….

Bahder Djohan berusaha menulis sebuah kritik mengenai kekerasan danapa yang dia lihat sebagai ideology Wahabi kaum Padri yang berbisa.Haji Miskin dan Tuanku nan renceh bahagia dia adalah pembunuh danpengkhianat yang tidak ada tandingannya. Namun Bahder Djohanmenyimpulkan,

Dan tidak seperti mereka yang mengikuti keinginan mereka, adaseseorang yang menuliskan namanya di hati orang-orang yangdia cintai. Jadi cerita mengenai perang Indies tidak akan pernahmelupakan nama Tuanku Imam, seorang lelaki jujur dan apaadanya, dipaksa untuk mengikuti mengayuh perahunya di sebuahlautan air mata yang dicucurkan oleh orang-orangnya sendiri.

Gambar 3. Monument Perang Padri (Boelhuwer 1841, frontispiece)


Djohan membayangkan Tuanku Imam Bonjol berdiri sendiri di atas bukitmelihat Bonjol.
Dibungkus dengan jubah putihnya, tasbih di tangan kirinyasementara turbannya memperlihatkan sebuah wajah yang tidaklagi bersinar, dua bola mata yang memandang jauh sejauhmereka melihat seolah-olah sedang mencari keberuntungan yangtidak akan ditemukan kembali

Pada tahun 1910, ketika Bahder Djohan sedang menulis, menandaiawal mula pergerakan, sebuah ‘pergerakan usia’ bagi Indonesia, suatumasa politik radikal ketika nasionalisme belum merupakan tujuan utamaperjuangan melawan colonial Belanda (Shirashi, 1990). Bahder Djohanadalah bagian dari elit kecil dari penduduk asli yang mengecappendidikan tinggi di ibukota. Dia adalah seorang intelek yang merayakansains dan modernitas, seorang internasionalis yang juga seorangpejuang Minangkabau. Bahder Djohan mampu memimpikan sebuahsejarah Minangkabau yang mana Tuanku Imam Bonjol merupakansosok yang mulia dan tragis, seseorang yang mana kekerasan yangterlihat datang dengan mudah nyatakan merupakan reaksi defensivedari usaha terakhir. Di Sumatera Barat, figure Imam Bonjol, padapergerakan, dibangun sebagai pendahulu ideologis tentang pejuanganpolitik modern. Jalan hidup Tuanku Imam Bonjol- penuh dengan konflik,tragis dan ALEATORY- akan menjadi sebuah perumpamaan bagi parawanita dan pria pada ‘pergerakan usia’

Pada tahun 1910an dan 1920an, daerah koloni Sumatera Baratmerupakan sebuah dunia yang terbalik. Bagi orang Minangkabau, bukanhal yang tidak masuk akal untuk mempercayai bahwa hari perhitungan,yang disebutkan dalam Al-Quran akan datang sebentar lagi. Di desa-desa kecil, konflik antara reformis dan pemimpin keagamaan yangtradisional telah membuktikan keterpecahbelahan: di mesjid-mesjid danmushala yang berbeda, para penyebut hari kiamat menunggu HariPembalasan dan perhitungan terakhir. Aliran golongan keagamaan inicukup berpegaruh bagi nagari- kampung yang mandiri, yang komposisinya terdiri dari dari sebuah mushala kecil. Dua dekadeintervensi sosial dan birokratik telah merubah nagari, dan pada tahun1914 peraturan nagari mengatur ulang kekuasaan lokal secara resmi.Ketua yang berasal dari orang Belanda yang telah disepakati, penghulu,mengatur pajak melalui sebuah dewan nagar yang baru. Persetujuanyang meredakan kepada tradisi dan restorasi tidak membodohi siapapun(Oki 1977, 82-91). Secara kurang dilihat, perselisihan dogmatis mulaimemecah belah keluarga. Para paman, keponakan, bapak dan anakdipola untuk saling melawan satu sama lainnya dalam keetiaan merekapada kelompok-kelompok ideologis tertentu- tradisionalis, reformis, danseterusnya. Dengan dua kekuasaan keagamaan yang terbagi danpemimpin tradisional yang jahat, pilar-pilar suci masyarakatMinangkabau mulai pudar. Ketidakjelasan sosial ini membuat figureTuanku Imam Bonjol yang hidupnya merupakan sebuah cerita tentangkesalahan langkah, kekalahan, dan kekecewaan, menarik dan familiar

Sumatera Barat cukup tidak biasa bahwa kebanyakan debatkelompok terjadi di desa-desa kecil, banyak diantaranya dengan mediacetak local. Politik dan ‘Modernitas’ bukan berasal di ibukota. Sementaradesa-desa kecil, para penduduk kota ditangkap dalam pergerakan danpergerakan politik dan kebangkitan sosial. Di kota Padang Panjang, kotaThawalib yang terkenal dengan aliran modernismenya menjadi locisebuah bentuk aliran komunisme Islam intelektual. Pegawaipemerintahan yang tidak setia di Silungkang bersekutu dengan parapekerja pertambangan batubara Ombilin dan di akhir tahun 1926,seorang tokoh komunis muncul di dekat kota industri Sawahlunto(Nasution 1981, 83-91).

Periode setelah komunis Silungkang menyebabkan peningkatanpenjagaan dan represi Belanda ke Sumatera Barat. Tahun-tahundinamis dari pergerakan dan percekcokan intelektual berakhir di PadangPanjang Minangkabau sebagaimana di bagian-bagian lainnya. Pada tahun 1930 para ulama bersatu dalam sebuah oposisi yang suksesmelawan colonial belanda yang tergabung dalam “Ordinasi Guru”. Hal inimerupakan revisi dari hukum yang telah diterapkan di Pulau Jawa danMadura sejak tahun 1905, mengisyaratkan calon-calon guru agamaIslam untuk mendapatkan izin dari seorang kepala distrik sebelumberbicara di hadapan umum (Abdullah 1971, 110-13). Nyatanya, gejolakaktivitas politik terakhir di Minangkabau pada awal tahun ke 1930an.Beberapa partai meluncurkan kampanye demonstrasi agresif; dalambentuk kesadaran para nasionalis, para tokoh politik lokalmempromosikan orang-orang Minangkabau, cap Minangkabau. Tapipada tahun 1933, larangan bepergian di sekitar Minangkabau mulaiditekankan secara tegas. Sebuah jaringan informan polisi membentukkecurigaan dan meruntuhkan moral dalam pergerakan. Dan mengikutiketentuan suksesnya, menaikan adat local sebagai element dimasyarakat Minangkabau (Abdullah 1971, 176-205; Kahin 1984). Padabulan Agustus 1933, pemerintah colonial Belanda menangkap banyakactivis Minangkabau, memadamkan api semangat mereka dalammelakukan pergerakan di Minangkabau. Sebagaimana Taufik Abdullahmenulis

Politik ekstensif Minangkabau telah membuatnya menjadi salahsatu daerah berbahaya di mata pemerintah. Pemerintah dengansemangat menerapkan ukuran represif yang menandai ketentuan rust en orde (kedamaian dan keamanan). Minangkabau menjadisatu tes kasus bagi ketentuan garis keras pemerintah. “DariPantai Barat Sumatera,” menurut sebuah tokoh teori colonial, deKat Angelino, “kejayaan dimulai.” (1971, 195).
Namun pemberontakan Silungkang telah menandai akhir politik Minangkabau. Mengikuti pemberontakan tersebut, pergerakanmenghubungkan camp pengungsian Boven Digul dan sumpah parapemuda yang disebut “Sumpah Pemuda” yang kemudian menjadipenentuan masa depan Indonesia. Sekolah dan pergerakan telahmengalami transformasi, menyiapkan mereka ke arah nasionalisme.Dalam kurun tahun 1920an, sekolah Islam dan Thawalib di PadangPanjang dan Bukit TInggi telah bisa membiayai dirinya sendiri,mendapatkan uang melalui penjualan buku yang dterbitkan olehpenerbit Syekh Muhammad Djamil Djambek, Tsamaratul Ichwan dan jaringan penjual batik Minangkabau serta distribusinya ke seluruhdaerah Indonesia (Noer 1973, 35-37; Daya 1995, 245-300). SoetanMangkoeto, lulusan dari sekolah para reformis ini, berjanji untukmemberikan donasi sebanyak 10 persen keuntungan bukunya untukmembantu membangun sekolah di Padang Panjang. Buku ini OBOR PARA PENDAKWAH ISLAM INDONESIA merupakan sebuah serangan padaOrdinansi Guru. Di akhir tahun 1920an, kita dapat membaca dominasi‘Indonesia’ pada sumpah pemuda dan nasionalisme pada tulisan-tulisanlokal:

 Anak-anak Indonesia yang meninggalkan atau mengabaikanIslam, tidak peduli seberapa lantang mereka meneriakkanpenyelamatan bangsa mereka dan tanah air mereka (IndonesiaRaya), mereka tidak akan pernah mencapainya. (Mangkoeto1929, 43). Dan masa keemasan pergerakan Minangkabau , duadecade pertama pada abad ke-20, sebuah masa manipol suaradan visi, tidak akan pernah kembali.
Dengan opresi politik, muncullah larangan penerbitan danpenyensoran yang meluas (Yamamoto 1995; Maters 1998). Setelah keretakan aktivis sebelumnya mengubah energi mereka ke publikasiyang tidak akan membuat Kantor Departemen Dalam Negeri gerah.Industri penerbitan ini terpusat di Sumatera Barat, di Padang dan BukitTinggi, dan di Medan di Sumatera Utara. Mayoritas penulisnya adalahorang Minangkabau atau Mandailing. (masyarakat Batak yangmerupakan target kampanye Tuanku Imam Bonjol di bagian utara).Buku-buku yang diterbitkan adalah majalah-majalah berharga murahyang dinamakan Roman Pitjisan yang dicetak bagi para pelanggannyadalam jumlah yang banyak (biasanya sekitar 3000 kopi) habis terjual.Booklet ini menemukan jalannya ke banyak perpustakaan yang beradadi nusantara. Dibandingka dengan publikasi yang terbaru, parapembacanya cukup luas (Oshikawa, 1990, Siegel 1997, Maier 2004























Hanya sejumlah roman Pitjisan yang bertahan di dalam arsip.Meskipun dicetak dalam jumlah yang sangat banyak, majalah tersebuttidak dianggap sebagai literature serius dan tidak pantas mendapatkanposisi yang bagus di antara koleksi permanent. Majalah tersebut dicetakpada kertas yang berharga murah, satu kopian digilir di antarasekelompok orang pembaca. Teks yang masih hidup selalu rapuh danrusak. Namun sebuah pencarian perpusatakaan Indonesia, Belanda dan
Am
eri
ka Se
ri
ka
t te
la
h me
mb
uk
a rat
us
an ko
pi yangdiantaranya 8 teks dari tahun 1930an dan tahun 1940an yangmenyebutkan Tuanku Imam Bonjol (Soub’ib 1938; dihoeloe 1939;Darmansyah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Sou’yb 1938-49). Semuateks menggambarkan Tuanku Imam Bonjol sebagai figur yang terhormatsekaligus tragis, semuanya menggabungkan sejarah yang telahdiketahui dengan fiksi. Seperti roman Pitjisan yangdiantaranya 8 teks dari tahun 1930an dan tahun 1940an yangmenyebutkan Tuanku Imam Bonjol (Soub’ib 1938; dihoeloe 1939;Darmansyah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Sou’yb 1938-49). Semuateks menggambarkan Tuanku Imam Bonjol sebagai figur yang terhormatsekaligus tragis, semuanya menggabungkan sejarah yang telahdiketahui dengan fiksi. Seperti Roman Pitjisan lainnya, ada sebuahsubteks anti colonial dalam cerita ini. Bukunya Dihoeloe

Cerita tentang Imam bonjol  sebagai pejuang Islam diambil dari catatan anak lelakinya Sutan chaniago berusahamemotong penemuan sejarah naratif. Namun dalam teks ini, bagiankritisnya adalah kumpulan elit tradisional dan ulama yang mana Tuanku Imam Bonjol meninggalkan aliran Wahabi dan berusaha untukmerekonsili Islam dan adapt Minangkabau, yang di sini digambarkandalam bahasa Belanda sebagai ‘pertemuan propaganda(Dihoeloe1939, 12). Bagi para penulis ini, Tuanku Imam Bonjol dianggap sebagaitokoh nenek moyang alegoriakan kalahnya pertahanan anti colonial,seseorang yang nasibnya berteman dengan pengasingan dan penjara diBoven Digoel

Roman Pitjisan merupakan kesenangan bagi para ahli literaturesejarah. Bahasanya bersifat eksperimental dan insisif serta berbaupolitik. Namun mereka mewakili sebuah masa tragis pada sejarahkalangan intelek Indonesia. Represi pada tahun 1930an memaksaproses pembuatan fiksi catatan sejarah dan pergerakan tekstual inidipelopori oleh para penulis dari Sumatera barat. Para novelis yangmembuat Roman Pitjisan hidup pada masa ktika para novelis sekuler dnnovelis agamis hidup secara tidak eksklusif. Para penulis seperti Hamkadan Jusuf Souy’b telah meperlihatkan bahwa adat dan Islam dapatberdampingan. Mereka bebas untuk menulis novel atau catatankeagamaan namun mereka tidak dapat menulis catatan politik langsungtanpa berjanji pada badan sensor dan ancaman pengasingan.Ketidakmampuan untuk mengetengahkan isu politik dan sejarah inimembuat analisis sejarah geografis menjadi stagnan di Sumatera Baratselama kependudukan Jepang, revolusi dan periode nasional. Masasetelah revolusi pada tahun 1950an, sebuah masa dinamis dalamkehidupan politik Indonesia membawa sebuah introspeksi sejarah keSumatera Barat (Asnan 2004). Akhir tahun 1950an, merespon padatokoh nasionalis sekuler dan komunis Soekarno pada pemilihan umumtahun 1955, Sumatera Barat meletus dengan satu peristiwa yangdisebut “pemberontakan setengah hati’. Orang-orang Minangkabau tidakpunya perut untuk melawan pemerintah pusat bahwa mereka telahberjuang untuk membentuk, dan tentara Indoneisa telahmenghancurkan pemerintah Revolusi Republik Indonesia (PRRI) dengan ketentraman yang relative (Feith dan Lev 1969; Kahin dan Kahin1995).
 
Pada pertengahan tahun 1961, aliran patriotisme Minangkabaubergejolak. Para tokoh pemisah pmerintahan revolusi yang berjuangselama tiga tahun melawan pemerintah negeri melakukan protes melaanalira Jawwa dan aliran Komunisme pemerintah, telah dikalahkan. Orang-orang MInangkabau meninggalkan Sumatera Barat ke Jakarta danMedan dan tidak pernah kembali. Ini adalah masa rantau cino atauimigrasi ala orang Cina, ketika orang Minangkabau memberi anak-anakmereka dengan nama-nama Jawa dan mengeluh bahwa di negerimereka di Sumatera, para pemenang (yang Minang) telah pergisementara yang tersisa hanya kerbau (kabau). Rumah makan padang diJakarta meluas membuat mereka jauh dari kehidupan para leluhurnyadan meninggalkan kenangan sedihnya

Tahun 1963 membawa penghinaan baru bagi para orang-Minangkabau. Pada buku anehnya “Tuanku Rao: Teror Islam Hambali diTanah Batak (1816-1833),penulis orang Mandailing MangarajaOnggang Parlindungan menulis:
 
Saudara-saudara dari Minang adalah orang-orang cacat karenakepercayaan mereka terhadap mitos sejarah. Mitos dinastiAlexander yang Agus, mitos kerbau jaya, mitos Ibuur, legendaMInangkabau dan hal-hal lain yang telah ditelan bulat-bulat olehsaudara-saudara dari Minang. Mereka tidak mampu memilih 2%fakta sejarah dan menendang 98% ornament mitologis dalammitos tersebut. Tanpa sedikitpun usaha, mencari angka-angkatahunan untuk menghentikan kebingungan yang mendalam.(1963-679).

Bu
ku te
rs
eb
ut me
ny
aj
ik
an se
ja
ra
h pa
hi
t pe
ra
ng Pa
dr
i da
n konversi Batak Mandailing kepada Islam. Parlindungan, seorang muslimMandailing merekapitulasi kekerasan Tuanku Imam Bonjol dariperspektif target jihadnya di bagian utara. Jatuhnya soekarno dankehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) demi saudara-saudara dariMinangkabau untuk menjawab tantangan Parlindungan. ‘SejarahMingangkabau’ yang pertama diterbitkan pada tahun 1970 dan terdiridari ucapan selamat pada diri sendiri oleh Parlindungan (Mansoer et.al,1970). Dengan tanggal-tanggal yang dikuatkan dan sebuah bibliographiyang substansial, para penulisnya menguraikan sejarah etno mitosMInangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat. Tokoh intelek Islamyang populis, Hamka, menantang Parlindungan dalm bukunya pada
tahun 1974 ."Tuanku Rao" antara fakta dan fiksi Hamka telah membaca buku tersebut selama dia di penjara pada masademokrasi terpimpin Soekarno, dan pada awal tahun 1970an terlibat
dalam sebuah polemik dengan Parlindungan di dalam sebuah Koran Haluan padang Ini adalah debat yang pada akhirnya memperbolehkanahli sejarah Minangkabau untuk melepaskan keabsahan Roman Pitjisan dan mulai memisahkan sejarah dari fiksi.

Prajurit Tuanku Imam Bonjol ditantang pertama kali olehParlndungan dan kemudian dipertanyakan lagi selama rezim Soeharto.Pada tahun 1980 drama Wisran Hadi, Imam Bonjol dipentaskan padaDewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002). Drama tersebut tidak terhormatdan menantang imej populer Tuanku Imam Bonjol. Dia digambarkansebagai seorang orang yang kikuk dan seorang lelaki yang merasa tidaknyaman dengan jabatannya sebagai pemimpin agamis, menolak titelnyasebagai Tuanku Imam dan menyatakan bahwa “namaku Peto Syarif!”.Drama tersebut menjadi controversial dan mengstimulus perdebatanpada tahun 1980 namun tidak disensor. Namun pada tahun 1995 WisranHadi pbersiap untuk mementaskan lagi drama tersebut lagi sebagaibagian dari perayaan Sumatera pad Festival Istiqlal kedua danpetingatah HUT RI yang ke -50. Gubernur Sumatera Barat menulis surat pada pemerintah pusat di Jakarta yang meminta bahwa produksitersebut dibatalkan karena kekhawatiran adanya kegelisahan dankerusuhan. Pertunjukan tersebut diblokir dan drama tersebut dilarang(Sahrul, 2005). Pemerintahan baru Soeharto merupakan gema bagipolisi Belanda pada tahun 1930an ditemukan sebagai catatan sejarah(Anderson 1983). Mitologi Soeharto sendiri merupakan untungkebohongan sejarah yang tidak mampu memiliki penampilan provinsipada ancamannya

Sementara prajurit Bonjol sebagai figure kekalahan Minangkabauyang heroic, Tuanku Imam Bonjol seringkali muncul dalam samarabkekerasan yang revolusioner dan potensial. Pada awal tahun 1930an,para nasionalis muda menggantungkan potret Tuanku Imam pada pintuKlub Indonesia di Weltevreden, sebuah korban pergerakan, korbanperubahan zaman dan korban idealismenya sendiri (N. 1931).Penggunaan retorika terhadap Tuanku Imam Bonjol adalah halus dandapat ditemukan pada tulisan filosofis tokoh komunis Indoensia TanMalaka, yang merupakan orang Minangkabau dari sebuah desa yangtidak jauh dari desa Bonjol. DIpenjara pada tahun 1942 hingga 1943, diamenulis Madilog menyempurnakanmanuskrip pada tahun 1946. Pada bagian akhir buku tersebut, diamenggambarkan pemerintahan masa depan yang dia sebut tokohsosialis Federasi Aslia, “Lokasinya ditandai dengan sumbu, di dekatgaris khatulistiwa, yang kurang lebih ditentukan oleh satu baris daribonjol ke Malaka” (Malaka 1951, 395). Rudolf Mrazek mencatat bahwapenggunaan desa Bonjol oleh Tan Malaka mencerminkan penampilanorang Minangkabau dan berarti sebuah tribute bagi perjuangan Tuankumelawan Belanda (1972, 34). Namun, kata sumbu atau dapat jugadiartikan sebagai sumbu yang menyebabkan pergerakan eksplosif.Sejalan dengan tribute secara geografis, Tan Malaka berniat untukmenjelaskan sebuah sumbu eksplosif dan revolusioner melalui sejarahtuanku Imam Bonjol itu sendiri


Sekarang ada sebuah penerbitan renaisans di Sumatera Baratdan sebuah dorongan perdebatan sejarah geografis.Pada tahun 2004,Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan di Padang dan drama karyaWisran Hadi difilmkan di televisi. Kedua teks tersebut menyatakanperanan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Pada tahun2001 , interview dengan perwakilan dari International Crisi Group , SalafiMuslin di Jakarta diadakan untuk mengenang sejarah perang Padri,mengenali Haji Miskin dan Imam Bonjol sebagai pelopor aliran Salaf diIndonesia. Akan sering dilihat bahwa setelah periode Soeharto banyakorang akan membaca sejarah Tuanku Imam Bonjol. Namun jelas bahwacatatan yang dia ambil dari tokoh nasionalis convensional menyatakankeraguannya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar